Pada tanggal 27 agustus 1883 pada pukul 10.20 WIB satu seperempat abad yang lalu, sebuah gunung berapi meletus di Selat Sunda. Gunung Krakatau (orang barat menyebutnya Krakatoa) yang saat itu menjuntai di Pulau Krakatau
memuntahkan amarahnya dengan kekuatan setara 200 megaton TNT. Asal tahu
saja, jumlah TNT sebesar itu setara dengan 13,000 kali Little Boy, bom
atom yang meremukkan Hiroshima di Jepang pada 1945. Benar-benar dahsyat.
Kedahsyatan ledakkan
Usai
ledakan, planet ini sempat gelap tertutup abu vulaknis yang menutupi
atmosfer. Sinar mentari tidak mampu menembus tebalnya debu yang
beterbangan. Asal tahu saja, Krakatau memuntahkan 25 kilometer kubik batu dan abu ke udara. Wah, seperti mau kiamat dong…
Foto yang menghiasi disisi kiri ini ini adalah dari Illustrated London News yang
terbit pada 8 September 1883 (Anda bisa membeli replika halaman depan
koran itu seharga 184 dollar di Amazon). Sementara itu pada 1927 sebuah
gunung “menjebul” lahir dari bekas lokasi Gunung Krakatau. Dia
dinamakan Anak Krakatau.
126 Tahun Terkubur, Dokumen Meletusnya Krakatau 1883 Ditemukan
Direktur Jenderal Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI , Sapta Nirwandar, menyambut baik diterbitkannya dokumen klasik tentang dahsyatnya letusan Krakatau tahun 1883. Sebab, dokumen yang telah 126 tahun terkubur dalam lautan naskah Kuno dan ditemukan terpisah di enam negara itu, sekarang sudah bisa dibaca bangsa Indonesia .
"Dokumen klasik bernama Syair Lampung Karam ini adalah karangan Muhammad Saleh, yang mengaku mengalami dan menyaksikan sendiri letusan Krakatau yang amat dahsyat di tahun 1883. Saking dahsyatnya, bunyi letusannya dapat didengar sejauh Manila , Cololbo, Papua Nugini, dan pedalaman Australia ," kata Sapta Nirwandar di Jakarta, Rabu (30/12/2009).
Syair
Lampung Karam tentang dahsyatnya letusan Krakatau hasil penelitian
Suryadi, --peneliti dan dosen di Leiden University ini, menurut Sapta,
teks syairnya bisa direvitalisasi untuk berbagai kepentingan, misalnya
di bidang akademik, budaya, dan pariwisata. Salah satunya adalah
kemungkinan untuk mengemaskinikan teks syair tersebut dalam rangka
agenda tahunan Festival Krakatau.
Syair yang aslinya ditulis dalam aksara
Arab-Melayu (Jawi) ini juga dapat direvisi dan diperkenalkan untuk
memperkaya dimensi kesejarahan dan penggalian khasanah budaya dan
sastra daerah Lampung khususnya dan Indonesia umumnya.
"Dengan
terbitnya dokumen langka hasil catatan pribumi satu-satunya tentang
letusan Krakatau 1883 itu, bangsa Indonesia mendapat kesempatan untuk
mengetahui sebuah dokumen yang ditulis oleh para pendahulu kita," papar
Sapta.
Naskah klasik yang merupakan kekhayaan khasanah budaya Indonesia ini menarik dikaji karena di dalamnya mengandung banyak informasi penting menyangkut bahasa, budaya, dan Sejarah Indonesia .
Sumber : jalansutera.com & latief/kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar