Oleh: DR. Amir Faishol Fath
Shalat
adalah ibadah yang terpenting dan utama dalam Islam. Dalam deretan rukun Islam
Rasulullah saw. menyebutnya sebagai yang kedua setelah mengucapkan dua kalimah
syahadat (syahadatain).
Rasullulah
bersabda, “Islam dibangun atas lima pilar: bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat,
berhajji ke ka’bah baitullah dan puasa di bulan Ramadlan.” (HR. Bukhari,
No.8 dan HR. Muslim No.16).
Ketika
ditanya Malaikat Jibril mengenai Islam, Rasullah saw. lagi-lagi menyebut shalat
pada deretan yang kedua setelah syahadatain (HR. Muslim, No.8). Orang yang
mengingkari salah satu dari rukun Islam, otomatis menjadi murtad (keluar dari
Islam). Abu Bakar Ash Shidiq ra. ketika menjabat sebagai khalifah setelah
Rasullulah Saw. wafat, pernah dihebohkan oleh sekelompok orang yang menolak
zakat. Bagi Abu Bakar mereka telah murtad, maka wajib diperangi. Para sahabat
bergerak memerangi mereka. Peristiwa itu terkenal dengan harbul murtaddin. Ini
baru manolak zakat, apalagi menolak shalat.
Ketika
menyebutkan ciri-ciri orang yang bertakwa pada awal surah Al-Baqarah, Allah
menerangkan bahwa menegakkan ibadah shalat adalah ciri kedua setelah beriman
kepada yang ghaib (Al-Baqarah: 3). Dari proses bagaimana ibadah shalat ini
disyariatkan –lewat kejadian yang sangat agung dan kita kenal dengan peristiwa
Isra’ Mi’raj– Rasulullah saw. tidak menerima melalui perantara Malaikat Jibril,
melainkan Allah swt. langsung mengajarkannya. Dari sini tampak dengan jelas
keagungan ibadah shalat. Bahwa shalat bukan masalah ijtihadi (baca: hasil
kerangan otak manusia yang bisa ditambah dan diklurangi) melainkan masalah ta’abbudi
(baca: harus diterima apa adanya dengan penuh keta’atan). Sekecil apapun yang
akan kita lakukan dalam shalat harus sesuai dengan apa yang diajarkan Allah
langsung kepada Rasul-Nya, dan yang diajarkan Rasulullah saw. kepada kita.
Bila
dalam ibadah haji Rasulullah saw. bersabda, “Ambillah dariku cara
melaksanakan manasik hajimu”, maka dalam shalat Rasullah bersabda, “shalatlah
sebagaimana kamu melihat aku shalat”. Untuk menjelaskan bagaimana cara
Rasullulah saw. melaksanakan shalat, paling tidak ada dua dimensi yang bisa
diuraikan dalam pembahasan ini: dimensi ritual dan dimensi spiritual.
Dimensi Ritual Shalat
Dimensi
ritual shalat adalah tata cara pelaksanaannya, termasuk di dalamnya berapa
rakaat dan kapan waktu masing-masing shalat (shubuh, zhuhur, ashar, maghrib,
isya’) yang harus ditegakkan. Dalam hal ini tidak ada seorang pun dari sahabat
Rasulullah saw, apa lagi ulama, yang mencoba-coba berusaha merevisi atau
menginovasi. Umpamanya yang empat rakaat dikurangi menjadi tiga, yang tiga
ditambah menjadi lima, yang dua ditambah menjadi empat dan lain sebagainya.
Dalam
segi waktu pun tidak ada seorang ulama yang berani menggeser. Katakanlah waktu
shalat Zhuhur digeser ke waktu dhuha, waktu shalat Maghrib digeser ke Ashar dan
sebagainya (perhatikan: An-Nisa’: 103). Artinya shalat seorang tidak
dianggap sah bila dilakukan sebelum waktunya atau kurang dari jumlah rakakat
yang telah ditentukan. Dalam konteks ini tentu tidak bisa beralasan dengan
shalat qashar (memendekkan jumlah rakaat) atau jama’ taqdim dan ta’khir
(menggabung dua shalat seperti dzhuhur dengan ashar: diawalkan atau diakhirkan)
karena masing-masing dari cara ini ada nashnya (baca: tuntunan dari Alquran dan
sunnah Rasullah saw.; An-Nisa’: 101), dan itupun tidak setiap saat, melainkan
hanya pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan kondisi yang tercantum dalam
nash.
Apa
yang dibaca dalam shalat juga tercakup dalam tata cara ini dan harus mengikuti
tuntunan Rasulullah. Jadi tidak bisa membaca apa saja seenaknya. Bila
Rasullulah memerintahkan agar kita harus shalat seperti beliau shalat, maka
tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menambah-nambah. Termasuk dalam hal
menambah adalah membaca terjemahan secara terang-terangan dalam setiap bacaan
yang dibaca dalam shalat. Karena sepanjang pengetahuan penulis tidak ada nash
yang memerintahkan untuk juga membaca terjemahan bacaan dalam shalat, melainkan
hanya perintah bahwa kita harus mengikuti Rasullulah secara ta’abbudi dalam
melakukan shalat ini.
Mungkin
seorang mengatakan, benar kita harus mengikuti Rasullulah, tapi bagaimana kalau
kita tidak mengerti apa makna bacaan yang kita baca dalam shalat? Bukankah itu
justru akan mengurangi nilai ibadah shalat itu sendiri? Dan kita hadir dalam
shalat menjadi seperti burung beo, mengucapkan sesuatu tetapi tidak paham apa
yang kita ucapkan?
Untuk
mengerti bacaan dalam shalat, caranya tidak mesti dengan membaca terjemahannya
ketika shalat, melainkan Anda bisa melakukannya di luar shalat. Sebab, tindakan
membaca terjemahan dalam shalat seperti tindakan seorang pelajar yang menyontek
jawaban dalam ruang ujian. Bila menyontek, jawaban merusak ujian pelajar.
Membaca
terjemahan dalam shalat juga merusak shalat. Bila si pelajar beralasan bahwa ia
tidak bisa menjawab kalau tidak nyontek, kita menjawab Anda salah mengapa tidak
belajar sebelum masuk ke ruang ujian. Demikian juga bila seorang beralasan
bahwa ia tidak mengerti kalau tidak membaca terjemahan dalam shalat, kita
jawab, Anda salah mengapa Anda tidak belajar memahami bacaan tersebut di luar
shalat. Mengapa Anda harus dengan mengorbankan shalat, demi memahami bacaan
yang Anda baca dalam shalat? Wong itu bisa Anda lakukan di luar shalat.
Pentingnya
mengikuti cara Rasullah bershalat, ternyata bukan hanya bisa dipahami dari
hadits tersebut di atas, melainkan dalam teks-teks Alquran sangat nampak dengan
jelas. Dari segi bahasa dan gaya ungkap Alquran selalu menggunakan “aqiimush
shalaata” (tegakkankanlah shalat) atau “yuqiimunash sahalat”
(menegakkan shalat). Menariknya, ungkapan seperti ini juga digunakan Rasullulah
saw. Pada hadits mengenai pertemuannya dengan Malaikat Jibril, Rasullah
bersabda: “watuqiimush shalata“ (HR. Muslim No.8) dan pada hadits
mengenai pilar-pilar Islam bersabda: “waiqaamish shalati“. (HR. Bukahri
No.8 dan HR. Muslim No.16).
Apa
makna dari aqiimu atau yuqiimu di sini? Mengapa kok tidak langsung mengatakan
shallu (bershalatlah) atau yushalluuna (mereka bershalat)? Para ahli tafsir
bersepakat bahwa dalam kata aqiimu atau yuqiimuuna mengandung makna penegasan
bahwa shalat itu harus ditegakkan secara sempurna: baik secara ritual dengan
memenuhi syarat dan rukunnya, tanpa sedikitpun mengurangi atau menambah, maupun
secara spiritual dengan melakukannya secara khusyuk seperti Rasulullah saw.
melakukannya dengan penuh kekhusyukan. Masalah khusyu’ adalah pembahasan
dimensi spiritual shalat yang akan kita bicarakan setelah ini.
Dimensi Spiritual Shalat
Mengikuti
cara Rasulullah saw. shalat tidak cukup hanya dengan menyempurkan dimensi
ritulanya saja, melainkan harus juga diikuti dengan menyempurnakan dimensi
spritualnya. Ibarat jasad dengan ruh, memang seorang bisa hidup bila hanya
memenuhi kebutuhan jasadnya, namun sungguh tidak sempurna bila ruhnya dibiarkan
meronta-meronta tanpa dipenuhi kebutuhannya. Demikian juga shalat, memang
secara fikih shalat Anda sah bila memenuhi syarat dan ruku’nya secara ritual,
tapi apa makna shalat Anda bila tidak diikuti dengan kekhusyukan. Perihal
kekhusyukan ini Alquran telah menjelaskan, “Dan mohonlah pertolongan (kepada
Allah) dengan sabar dan shalat, dan sesungguhnya shalat itu sangat berat
kecuali bagi mereka yang khusyu.” (Al-Baqarah: 45)
Imam
Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat ini, menyebutkan pendapat para ulama salaf
mengenai makna khusyu’ dalam shalat: Mujahid mengatakan, itu suatu gambaran
keimanan yang hakiki. Abul Aliyah menyebut, alkhasyi’in adalah orang yang
dipenuhi rasa takut kepada Allah. Muqatil bin Hayyan berpendapat, alkhasyi’in
itu orang yang penuh tawadhu’. Dhahhaq mengatakan, alkhasyi’en merupakan orang
yang benar-benar tunduk penuh ketaatan dan ketakutan kepada Allah. (Ibn Katsir,
Tafsirul Qur’anil azhim, Bairut, Darul fikr, 1986, vol. 1, h.133)
Dan
pada dasarnya shalat –seperti yang digambarkan Ustadz Sayyid Quthub– adalah
hubungan antara hamba dan Tuhannya yang dapat menguatkan hati, membekali
keyakinan untuk menghadapi segala kenyataan yang harus dilalui. Rasulullah saw.
–kata Sayyid- setiap kali menghadapi persoalan, selalu segara melaksanakan
shalat. (Sayyid Quthub, fii zhilalil Qur’an, Bairut, Darusy syuruuq, 1985, vol.
1, h. 69)
Dalam
hal ini tentu shalat yang dimaksud bukan sekedar shalat, melainkan shalat yang
benar-benar ditegakkan secara sempurna: memenuhi syarat dan rukunnya, lebih
dari itu penuh dengan kekhusyukan. Karena hanya shalat yang seperti inilah yang
akan benar-benar memberikan ketenangan yang hakiki pada ruhani, dan benar-
benar melahirkan sikap moral yang tinggi, seperti yang dinyatakan dalam
Alquran: “dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar ”. (Al-Ankabut: 45)
Jelas,
bahwa hanya shalat yang khusyu’ yang akan membimbing pelaksananya pada
ketenangan dan kemuliaan perilaku. Oleh sebab itu para ulama terdahulu selalu
mengajarkan bagimana kita menegakkan shalat dengan penuh kekhusyukan. Imam
As-Samarqandi dalam bukunya tanbihul ghafiliin, menulis bab khusus dengan
judul: Bab itmamush shalaati wal khusyu’u fiihaa (Bab menyempurkan dan khusyuk
dalam shalat). Disebutkan dalam buku ini bahwa orang yang sembahyang banyak,
tetapi orang yang menegakkan shalat secara sempurna sedikit. (As Samarqandi,
Tanbihul ghafiliin, Bairut, Darul Kitab al’Araby, 2002, h. 293)
Imam
As-Samarqandi benar. Kini kita menyaksikan orang-orang shalat di mana-mana.
Tetapi, berapa dari mereka yang benar-benar menikmati buah shalatnya, menjaga
diri dari perbuatan keji, perzinaan, korupsi dan lain sebagainya yang termasuk
dalam kategori munkar.
Antara Ritual dan Spritual
Ketika
Rasulullah saw. memerintahkan agar kita mengikuti shalat seperti yang beliau
lakukan, itu maksudnya mengikuti secara sempurna: ritual dan spiritual. Ritual
artinya menegakkan secara benar syarat dan rukunnya, spiritual artinya
melaksanakannya dengan penuh keikhlsan, ketundukan dan kekhusyukan.
Kedua
dimiensi itu adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Satu dimensi hilang, maka
shalat Anda tidak sempurna. Bila Anda hanya mengutamakan yang spiritual saja,
dengan mengabaikan yang ritual (seperti tidak mengkuti cara-cara shalat Rasulluah
secara benar, menambahkan atau mengurangi, atau meniggalkannya sema sekali) itu
tidak sah. Dengan bahasa lain, shalat yang ditambah dengan menerjemahkan setiap
bacaannya ke dalam bahasa Indonesia, itu bukan shalat yang dicontohkan
Rasullah. Maka, itu tidak disebut shalat, apapun alasan dan tujuannya.
Sebaliknya,
bila yang Anda utamakan hanya yang ritual saja dengan mengabaikan yang
spiritual, boleh jadi shalat Anda sah secara fikih. Tetapi, tidak akan membawa
dampak apa-apa pada diri Anda. Karena yang Anda ambil hanya gerakan shalatnya
saja. Sementara ruhani shalat itu Anda campakkan begitu saja. Bahkan bila yang
anda abaikan dari dimensi spiritual shalat itu adalah keikhlasan, akibatnya
fatal. Shalat Anda menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi-Nya. Na’udzubillahi
mindzaalika. Wallahu A’lam bish shawab.
0 komentar:
Posting Komentar