Mengidolakan
seseorang tentu saja tak terlarang. Bahkan seseorang yang jelas-jelas
telah berbuat salah pun masih berhak untuk diidolai lantaran dia juga
diberi ruang oleh Tuhan untuk bertobat dan memperbaiki diri. Namun,
lain masalahnya jika pengidolaan itu telah melewati batas kepantasan
alias berlebihan. Para nabi saja dilarang untuk dikultuskan, apalagi
ini sekadar manusia biasa yang jelas potensi kealpaannya sangat besar.
Pada kasus Ariel “Peterpan”,
tak masalah pula bila para pengidolanya tetap apresiatif terhadap
karya-karyanya dan begitu antusias pula menantikan karya-karya dia
selanjutnya setelah bebas (bersyarat) dari penjara. Tapi, kita toh
harus tetap jernih berpikir dan tidak melupakan dosa yang telah
diperbuatnya, suatu hal yang jelas-jelas tak layak ditiru, bahkan untuk
sekadar dimaklumi. Bahwa kita sebagai manusia juga berpotensi berbuat
serupa, itu soal lain. Tak bisa jadi alasan untuk memutihkan dosa dia.
Yang berhak mengampuni perbuatannya itu hanya Tuhan, kita hanya harus
tetap memberi dia ruang untuk memperbaiki diri. Artinya, permaafan
yang mesti kita berikan kepada Ariel hanyalah pada konteks interaksi
antarkita saja. Apabila perbuatan mesum Ariel—ups
sori, kesebut juga—menyinggung interaksi sosial kita, maka kita beri
maaf dia agar bisa bertobat. Namun kemesumannya itu sendiri haram untuk
kita maklumi, apalagi kita halalkan.
Nah, dalam koridor demikian, apakah kita (bila jadi pengidolanya) mesti bela-belain
untuk menyambut pembebasan bersyaratnya itu dengan bolos kerja, gadai
motor segala untuk biaya ke Bandung tempat Ariel dipenjara, dll yang
berlebihan? Bahwa para pengidola itu rata-rata masih remaja, bukankah
mereka punya orang tua, punya lingkungan masyarakat Timur yang konon
bermoral dan berbudi luhur?
Lagipula momen pemujaan atau malah penuhanan Ariel itu
terjadi di bulan Ramadan dan pada Hari Anak Nasional (23 Juli 2012).
Jadi, apalah nilai “pengarielan” demikian itu yang akan kita tanamkan
pada anak-anak kita? Jika tidak, berarti kita mesti bersungguh-sungguh
menginternalisasi nilai-nilai kebaikan kepada anak-anak kita dan
lingkungan masyarakat kita, lalu mewujudkan nilai-nilai itu dalam semua
segi kehidupan kita.
Sebaliknya, kita pun mesti menangkal segenap pihak yang
berupaya membendung berlangsungnya kebaikan , yang dengan sengaja
menghalalkan segala cara baik terang-terangan maupun tersembunyi demi
keuntungan diri sendiri. Salah satu yang pantas dicurigai adalah para
pebisnis pornografi. Juga para pengusaha media atau juragan apa saja
yang melulu beragama duit (asal jualannya laris) dengan menerabas
segala batasan moral, undang-undang, dan segala aturan yang dianggap
menghambat kepentingan penjualan barang dagangannya.
Karena itu, pantas kita dukung pihak-pihak yang menyuarakan nilai-nilai kebenaran tersebut. Media Indonesia,
misalnya, pada edisi Selasa, 24 Juli 2012, menurunkan satu
tulisan/berita berjudul “Disambut Berlebihan, Ariel Bukan Ikon yang
Pantas Ditiru”. Media menuliskan bahwa sejak Minggu (22/7)
pukul 22.00 WIB para pengidola Nazriel Ilham alias Ariel sudah
berkumpul di depan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kebon Waru, Bandung.
Mereka yang datang dari Bandung, Cianjur (Jawa Barat), Purbalingga,
Brebes (Jawa Tengah), dan daerah lain tak henti-hentinya menyanyikan
lagu-lagu Peterpan di depan pintu utama LP hingga tengah malam. Dengan
mengenakan kaus dan topi berlogo band Peterpan, mereka meneriakkan
yel-yel, “Kami datang buat Ariel, hidup Ariel.”
Bahkan, tulis Media, ada penggemar Ariel dari
Brebes, Rosyikun, yang sampai menggadaikan BPKB motornya demi
mendapatkan ongkos ke Bandung. Seolah terinspirasi Rosyikun, Roji warga
Bekasi pun mengajukan cuti dengan alasan ingin bertemu kakaknya di
Bandung.
“Aku cuti dua hari. Pamitan ama bos (mau)
ketemu kakak. Kalau (bilang) mau ketemu Ariel, enggak mungkin dikasih,”
kata Roji di LP Kebon Waru sebagaimana dilaporkan Media. Para penggemar itu mengaku mengetahui bakal bebasnya Ariel dari akun fansclub Peterpan di Facebook.
Media pun menulis, penyambutan Ariel
yang dinilai berlebihan itu tidak hanya dilakukan para penggemar,
tetapi juga media massa, terutama televisi. “Seharusnya pembebasan
Ariel enggak perlu dipublikasikan berlebihan. Ia bukan ikon yang pantas
ditiru. Ariel bukan seorang pahlawan dan tidak layak diperlakukan
sedemikian rupa. Saya lihat rata-rata fan Ariel remaja yang rela
menjemputnya di LP Kebon Waru,” ujar Ketua Umum Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) Arist Merdeka Sirait sebagaimana dikutip Media.
“Saya pikir itu sudah ada yang mengoordinasi. Mungkin
demi Ariel mereka rela bolos,” sambungnya. Arist pun khawatir,
antusiasme para remaja atas bebasnya sang idola itu bisa mengubah
perilaku mereka.
“Ariel itu pria penyimpang seks. Bisa saja gara-gara
itu mereka menafsirkan perbuatan Ariel itu sah-sah saja dan (pantas)
ditiru,” sebutnya.
Sementara itu, lanjut Media, Wakil Ketua KPAI
Asrorun Niam Sholeh dalam rilisnya mengimbau masyarakat mewaspadai
gerakan sistemik dan terdesain dari pengusaha hitam yang mengambil
untung dari industri pornografi. Menurutnya, mereka membangun citra
seolah-olah pelaku kejahatan pornografi itu idola, suatu hal yang
mengancam prinsip perlindungan anak.
Pikiran Rakyat (PR) juga melaporkan
ajakan KPAI untuk mewaspadai gerakan propornografi sehubungan dengan
pembebasan Ariel. Dengan mengutip pula pernyataan Niam Sholeh, PR
menulis bahwa menurut Wakil Ketua KPAI itu, tanggapan terhadap
pembebasan Ariel terkesan berlebihan, seolah-olah Ariel adalah sosok
pahlawan yang telah berjasa besar terhadap bangsa dan negara.
“Seolah-olah ia sebagai orang yang berjasa. Seolah ia orang mulia,
lebih mulia dari atlet-atlet kita yang mengharumkan nama bangsa di
kancah internasional, dari anak-anak siswa nasional kita yang pulang
dari kejuaraan internasional dengan berbagai prestasi, bahkan dari
kontingan Garuda yag mengharumkan nama bangsa dalam misi perdamaian
dunia,” ujar Niam.
Dalam nada yang sama, Republika edisi 24 Juli
2012 dalam tajuknya, “Hak Anak”, menulis bahwa Hari Anak Nasional kali
ini (23/7) berlalu tanpa peringatan apa pun di level negara. Rencana
sejumlah duta anak untuk menyampaikan “Suara Anak Indonesia 2012” di
hadapan Kepala Negara pun gagal. Mereka hanya dapat menyampaikan isi
kepala di depan Komnas Perlindungan Anak.
Anak-anak itu, antara lain, menyampaikan kecemasan
terhadap dua ancaman: (1) punahnya jatidiri bangsa dan (2) terpaan
media yang tak sesuai dengan kepentingan pertumbuhan anak-anak. Mereka
berharap Indonesia menjadi negeri yang ramah terhadap anak-anak.
Nah, seperti mendapatkan bukti, anak-anak itu pun langsung mendapatkan suguhan “hidup” (live)
gegap gempita pembebasan Ariel—alih-alih mendapatkan tayangan yang
mendidik. Seorang yang terkena hukuman atas perilaku seksnya, tulis Republika,
tampak keluar dari penjara bagai pahlawan. Anak-anak muda pun bersedia
bermalam di muka gedung penjara untuk menyambut kebebasannya.
Hal yang sangat menyedihkan, lanjut Republika
seraya mengutip pula sinyalemen Ketua KPAI Arist Merdeka Sirait, gegap
gempita penyambutan tersebut tidaklah spontan, melainkan menjadi
garapan kelompok tertentu dan menjadi santapan media massa. “Kita bisa
melihat,” tulis Republika, “mereka bisa saja bekerja demi kepentingan
pundi-pundi uang belaka, namun tidak tertutup juga kemungkinan
berperannya pikiran-pikiran ideologis tertentu tentang nilai kebebasan
yang sebenarnya bertentangan dengan nilai yang kita genggam selama ini.”
“Jadi, pada Hari Anak Nasional, anak-anak kita
kehilangan hak untuk mendapatkan tayangan secara selektif. Pada hari
yang sama, anak-anak kehilangan hak untuk mendapatkan jatidiri karena
pembuatan dan peredaran video porno, serta gegap gempita penyambutan
pemerannya, jelas-jelas bukan identitas bangsa kita. Tak jelas lagi
mana nilai-nilai arif bangsa kita dan nilai-nilai impor yang merugikan
bangsa.”
Selanjutnya Republika menulis, “Anak-anak kita berhak
mendapatkan ketegasan antara garis kebaikan dan keburukan. Tapi,
peristiwa kemarin (gegap gempita penyambutan pembebasan Ariel) kian
membuktikan bahwa kita gagal melunaskan (lebih tepatnya: melunasi) hak
tersebut. Bukankah selama ini kita juga telah membuat mereka bingung
dengan begitu samarnya garis antara perilaku korupsi dan perbuatan
benar, antara tindakan berintegritas dan kelakuan kriminal?”
“Kita sering berkata-kata tentang pendidikan integritas
bagi anak-anak, namun kerap lupa memberi teladan. Bagaimana mau
mendidik mereka disiplin kalau kita tak terbiasa tepat waktu, tertib di
jalan raya, atau antre saat membeli tiket. Bagaimana mau berharap
mereka menolak korupsi kalau untuk urusan surat-surat, kartu identitas,
dan pendaftaran sekolah kita masih juga menggunakan jalan suap.
Kita gagal menunjukkan siapa sesungguhnya yang harus
menjadi pahlawan dan tindakan mana yang harus dielu-elukan. Kita
terpesona pada hak akan kebebasan, terpukau akan hak privat, namun lupa
pada hak anak-anak untuk belajar kebajikan.”
Akhirnya, menurut saya, dari segenap catatan itu, yang
urgen untuk dilakukan adalah kita sebagai rakyat, bangsa, dan negara
mesti rajin membuat kesepakatan tentang nilai-nilai kebaikan bersama
untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, memperbaiki
kesepakatan yang telah ada (jika diperlukan), dan terpenting:
melaksanakan kesepakatan itu dengan benar. Segenap warga negara
Indonesia pun wajib taat melaksanakannya. Negara melalui aparatnya yang
berwewenang untuk memastikan keterlaksanaan kesepakatan dan memberi
sanksi atas pelanggaran terhadapnya pun mesti tegas tanpa pandang bulu
dalam melakukan tugasnya.
Kasus pro-kontra konser Lady Gaga yang berujung
pembatalan berbanding dengan pertunjungan serupa produksi anak bangsa
sendiri semisal dangdut koplo vulgar (yang juga divideokan) dan
tayangan televisi selama ini hingga hari ini dan seterusnya yang juga
kerap melanggar nilai-nilai kesopanan dan kepantasan, sampai terakhir
pada kasus penyambutan pembebasan Ariel, menunjukkan bahwa kita telah
gagal mematuhi kesepakatan yang telah ada (secara konsisten), baik yang
telah dibuat jadi aturan (hukum) tertulis maupun yang tak tertulis
(nilai-nilai moral dan luhur bangsa).
Anehnya, meski telah ada kesepakatan hukumnya (tanpa
menutup kemungkinan untuk diperbaiki) semisal undang-undang tentang
pornografi/pornoaksi, tentang media, penyiaran, atau pertelevisian,
kita masih saja kerap menawar-nawar, melanggar-langgar, atau paling
tidak terus saja mempertanyakannya. Seolah-olah mustahil untuk
menyepakati misalnya batasan tentang porno(grafi). Padahal, selain yang
telah disepakati jadi undang-undang, batasan pornografi juga lazim
terjadi di kampus-kampus kita (bahkan di mana pun, bukan hanya di
Indonesia). Bukankah di sana ada sekian banyak kajian tentang
pornografi yang telah absah jadi skripsi, tesis, disertasi dan
melahirkan sekian banyak sarjana, master, serta doktor? Jadi, tak ada
yang mustahil untuk sekadar bikin kesepakatan. Hanya orang-orang bebal
yang terus saja berkelit untuk terus menuruti maunya sendiri. ***
0 komentar:
Posting Komentar