A. Seleuk-beluk
Sejarah adalah rahasia yang belum dapat dipecahkan.
Namun sejarah adalah kenyataan yang kuat, sejarah bersifat ketuhanan
dan kesetanan. Sejarah itu ditulis untuk mengetahui dan memahami
hal-hal yang terjadi pada masa lampau, dari berbagai sudut. Sejarah
juga dasar pendidikan modern yang merupakan sekolah terbaik bagi setiap
orang. Sejarah yang ditulis dengan baik, objektif serta tidak berat
sebelah, akan menghasilkan banyak kebaikan pula.[1]
Terlepas dari kekurangan yang dimiliki para pakar
sejarah, pun tentunya disebabkan juga dari “sejarah” itu
sendiri—pupusnya beberapa bukti otentik atas peninggalan-peninggalan
sejarah. Satu hal yang pasti, bahwa sejarah penamaan Minang Kabau, dari
doeloe sampai sekarang masih berlandaskan pada “menang adu kabau”. Walaupun menuai pro dan kontra dari para ahli sejarah. Lokal, nasional bahkan internasional.
Lantas ada teka-teki apa sebenarnya dari itu semua? Dan
belakangan ini, penulisan Minang Kabau pun mengalami perubahan. Dari
perubahan itu lah dalam penulisan Minang Kabau tidak lagi ditulis
seperti lazimnya—Minangkabau. Lantas ada apa pula?
1. Asal-usul
Adalah hikayat yang menceritakan bahwa, penamaan Minang Kabau itu terambil dari ungkapan “menang adu kerbau”. Di antaranya, buku-buku sejarah—Hikayat Raja-raja Pasai, yang melukiskan
peristiwa-peristiwa di Sumatera antara 1280 dan 1400—masuknya Islam
kekesultanan Samudra-Pasai di pesisir timur laut dan akhirnya ekspansi
kerajaan Majapahit dari Jawa ketika ia memasukkan kepulauan sebelah
barat itu ke dalam imperiumnya.
Dalam versi cerita Majapahit terdapatlah
kesimpulan-kesimpulan aneh—kekalahan ratu Majapahit dalam laga “adu
kerbau” dengan penduduk setempat.[2]
Tambo Minang pun menceritakan hal yang sama, bahkan novel klasik tidak
pula ketinggalan menuliskan hal serupa. Bagaimana kepiawaian bangsa itu
dalam melumpuhkan lawannya.
Ironisnya, disadari atau tidak, sebagian dari
arsitek/perancang penulisan sejarah Minang Kabau itu telah berhasil
menerapkan apa yang diteorikan oleh Jaques Derrida; “tulisan adalah
lawan tanding dari ingatan itu sendiri”. Pada akhirnya, inilah yang
dalam beberapa abad belakangan, bahkan sampai sekarang masih menjadi
rujukan dalam penulisan sejarah penamaan Minang Kabau.
2. Ragam Teori
Menurut sejarawan, adu kerbau hanya dongeng yang dibuat
sedemikian rupa, agar kedua suku bangsa (Majapahit-Singosari dan
Minang) tidak bersatu menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di
Nusantara ini. Adapun akibat dari pemberitaan dongeng tersebut, di
dalam penulisan sejarah Nasional, masing-masing pihak telah kehilangan
data tentang adanya hubungan kekeluargaan antara mereka. Tetapi, MD.
Mansur dkk., telah mengidentifikasi peristiwa “adu kerbau” itu dengan
kedatangan tentara Singosari, pada tahun 1289.
Dengan demikian, bukanlah kerbau Patih Gajah Mada dari
kerajaan Majapahit yang berlaga dengan kerbau Patih Sewatang (Datuk
Parpatih Nan Sabatang) dalam peristiwa tersebut. Karena kedatangan
tentara kerajaan Majapahit bersama Adityawarman setelah tentara
kerajaan Singosari ditarik ke Jawa oleh Raden Wijaya. Adityawarman
berada di Minang Kabau dalam tahun 1347.[3]
Selanjutnya, penamaan Minang Kabau dipopulerkan jayanya
sekitar abad ke-14 sampai abad ke-18. Dengan terbitnya buku “Sejarah
Minangkabau” oleh MD. Mansur dkk., diperkenalkan pula bahwa nama Minang
Kabau mengalami dua periode popularitas—periode Minang Kabau Timur
(abad ke-7) dan periode Minang Kabau/Pagaruyung (1347-1809). Maka,
penamaan Minang Kabau yang terambil dari “adu kerbau“ adalah buatan
penjajah bangsa Belanda yang diselipkan dalam Tambo Adat Alam Minang
Kabau itu, menjadi buyar.[4]
3. Penamaan Minang Kabau
Menggunkan laporan I-Tsing dinyatakan bahwa ibu kota
kerajaan “Mo-lo-you” itu berada di dekat khatulistiwa atau tepat di
bawahnya, karena orang di ibu kota kerajaan itu menginjak bayangan
kepalanya sendiri. Adalah candi Budha di Muara Takus kiranya dapat
dijadikan petunjuk mengenai lokalisasi tempat yang diceritakan I-Tsing
tersebut.
Namun, pendapat FM. Schnitger, Conservator of Museum at Palembang, ternyata
bangunan candi Muara Takus tersebut berlanggamkan abad ke-11 dan 12
Masehi. Adalah perjalanan Dapunta Hyang dari Tanah Basa (di sekitar
lembah Indus) pada pertama kali menginjakan kakinya di kaki gunung
Merapi, yang terletak di tengah-tengah pulau Sumatera. Perjalanannya
dari Tanah Basa juga merupakan perjalanan suci (+ 250 tahun sebelum Masehi) untuk mencari tempat-tempat menyebarkan anggota rombongannya.
Gunung Merapi sebagai tempat yang menjadi tujuannya
sewaktu berangkat dari Tanah Basa dan menyonsong sungai Kampar-Kanan
dan Kampar-Kiri (Muara Kampar) tidak lain mencari identitas atau
pengganti tempat suci, yang menurut kepercayaan Hindu-Budha, di sanalah
terletaknya Nirwana—tempat kembalinya roh sesudah mati. Di Nirwana itu
juga bersemayamnya Hyang Tunggal bersama para dewata. Adapun di tempat
asal, gunung tertinggi adalah Mahameru (Himalaya), oleh karena itu
penggantinya juga harus yang sama saktinya—gunung Merapi yang terdapat
di Sumatera Tengah.
Dengan demikian perjalanan suci Dapunta Hyang dari
Tanah Basa merupakan perjalanan suci untuk menetapkan lokasi keagamaan.
Gunung Merapi atau Si Mahameru itulah tempat para dewata dan Hyang
Tunggal, yang disebut Parhyangan—suatu tempat suci pengembalian roh
sesudah mati dan kalam reinkarnasi. Dengan perkataan lain gunung Merapi
atau Si Mahameru sebagai Parhyangan, adalah tempat asal mula jadinya
Dapunta Hyang. Tempat itu, bagi bangsa Minang Kabau bernama Pariangan.
Yang di dalam mamang dipahat; “dari mana titik palito, dari tanglung yang berapi, dari mana asal ninik kito, dari puncak gunung Merapi”.
Teori lain mengungkapkan asal-usul penamaan “Minang
Kabau” dimulai dari prasasti yang terdapat di Kedukan Bukit dan Talang
Tuo yang terletak di Sumatera Selatan, bertuliskan aksara Pallawa dalam
bahasa Melayu Kuno. Prasasti tersebut milik kerajaan Minang Kabau dan
ditulis pada abad ke-7, dengan bukti berisikan kalimat-kalimat yang
menyatakan Dapunta Hyang memberangkatkan lasykarnya dari Minanga
Tamwan/Minanga Kabwa dengan tujuan membuat sebuah negara/kerajaan,
seperti dinyatakan dalam prasasti Kedukan Bukit.[5]
Isi Kedukan Bukit itu ditafsirkan oleh ahli lain sebagai berikut: “Pada
hari ketujuh bulan terang, bulan Jyestha. Dapunta Hyang berangkat dari
Minanga Tamwan (Kamwar). Ia membawa tentara dua laksa dan dua ratus koi
di perahu; yang berjalan seribu tiga ratus dua belas banyaknya; datang
di Mukha upang dengan senang hati; pada hari kelima bulan terang, bulan
(Asada) dengan lega gembira datang untuk membuat wanua...”
Adapun menimbulkan banyak tafsiran di kalangan
sejarawan semenjak prasasti itu diungkapkan oleh P.h.S. Rongkel.
Umpamanya, N.J. Krom berpendapat bahwa prasasti itu dimaksudkan untuk
memperingati penguasaan atau penaklukkan Sriwijaya atas Kerajaan
Melayu. J.L. Moens berpendapat—prasasti itu sebagai peringatan
kemenangan Sriwijaya atas pusat Kerajaan Melayu di Palembang, yang
dalam prasasti itu disebut Minanga Tamwan.
R.A. Kern mengungkapkan, lokasi Minanga Tamwan itu di
muara Sungai Musi, bukan di Palembang. Sedangkan Rongkel sendiri
berpendapat lokasinya di Singkawak.[6]
Sekali lagi J.L. Moens berujar, bahwa setelah menguasai Palembang,
Sriwijaya yang mula berpusat di pantai timur Semenanjung pindah ke
pantai timur Sumatera, tidak di Palembang tetapi di Muara Takus.[7] Pemindahan pusat pemerintahan ini terjadi pada sekitar tahun 683 dan 685 M.[8]
Perbedaan pendapat tentang maksud prasasti itu disebabkan kata Minanga Tamwan. Sebagai penemu pertama, Rongkel membaca tulisan itu sebagai Minanga Hamwar. Minanga Hamwar, yang artinya sungai tawar.
Sedangkan Purbatjaraka membacanya Minanga Kamwar, yang artiya sungai kembar.
Dari sana Purbatjaraka membangun teori bahwa prasasti itu mengisahkan
keberangkatan pasukan dari Minanga Kamwar, yakni dari lokasi pertemuan
dua buah sungai kembar. Lambat-laun nama Kamwar berubah menjadi Kampar untuk sungai yang kini bernama Kampar Kiri dan Kampar Kanan.[9]
Akan tetapi Sutan Mhd Zain, berbeda lagi. Menurutnya, kata Minangkabau berasal dari Binanga Kamvar, yang berarti Muara Batang Kampar.[10]
Yang menarik dari teori Purbatjaraka itu ialah dari kata Minanga Kamwar lahirlah kata Minang Kabau. Sedangkan Muh. Hussein Nainar berpendapat, berasal dari meon khabu yang artinya tanah mulia. [11]
Penulis lain berpendapat kalau asalnya dari kata Mainang Kabau, yang artinya Memelihara Kerbau. Ada juga pendapat lain, bahwa kata itu berasal dari bahasa Sri Lanka—mau angka bahu, artinya yang memerintah. Yang lain pun mengatakannya berasal dari kata Minanga Tamwan, Minanga menjadi Minang, sedangkan Tamwan berubah menjadi Kabau. Kata itu ditemukan pada prasasti Kedukan Bukit.[12]
Buchari, setelah ia dapat membaca tulisan yang sangat kabur pada prasasti Kedukan Bukit—kata Muka Upang ditafsirkannya bahwasanya pasukan itu berangkat dari Minanga (yang menurutnya di Batangkuantan) menuju Muka Upang[13] di sebelah hulu Sungai Musi. Sedangkan kata Tamwan disetujui Slamet Muljana sebagai tambahan. Walaupun arti kata Tamwan tersebut disetujui oleh Slamet Muljana, tetapi tentang lokasi Minanga, ia berpendapat tetap di muara Sungai Musi lama.
Seorang sarjana lainnya, Nia Kurnia Sholihat, setelah mengungkapkan pendapat berbagai ahli tentang kata terakhir marmuat manua, yang menurut dia berarti membuat rumah bukan membuat kota atau benteng,[14] menafsirkan prasasti Kedukan Bukit: “Pada
tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682) raja Sriwijaya yang bergelar
Dapunta Hyang naik perahu dari suatu tempat untuk menggabungkan diri
dengan bala tentaranya yang baru saja menaklukan Minanga (Binanga).
Lalu pada tanggal 7 Jesta (19 Mei) Dapunta Hyang memimpin bala
tentaranya meninggalkan Minanga untuk pulang ke ibu kota. Semua tentara
bursuka cita karena pulang dengan membawa kemenangan. Mereka mendarat
di Muka Upang, lalu menuju ibu kota. Kemudian pada tanggal 5 Asada (16
Juni) Dapunta Hyang menitahkan pembuatan sebuah wanua (bangunan) berupa
wihara di ibu kota, sebagai manifestasi rasa syukur dan gembira.”[15]
Sedangkan kata Minanga,[16] ia setuju dengan Slamet Muljana yang menafsirkannya dengan Binanga yang letaknya di daerah Padang Lawas di tepi Sungai Barumun, Sumatera Timur.[17]
Pada tahun 1983, Krom berusaha menafsirkan Kedukan
Bukit. Kali ini ia menghubungakan prasasti Kedukan Bukit dengan
pernyataan I-Tsing bahwa sekembalinya ia dari Nalanda, Malayu telah
menjadi Sriwijaya. Jadi, menurut Krom kerajaan Malayu ini ditundukkan
oleh Sriwijaya pada tahun 682 M. Untuk memperkuat pendapatnya, ia
mengajukan bacaan tiga huruf yang kabur sekali pada akhir baris ke-7,
sehingga berbunyi malayu. Bacaan malayu oleh Krom dibantah oleh J.G. de Casparis yang tidak melihat kemungkinan adanya huruf la di antara huruf yang sudah usang tadi. Huruf yang dibaca la oleh Krom kemungkinan besar ialah huruf ka.
Sehubungan dengan persoalan ini, Poerbatjaraka mengatakan bahwa seandainya matayap ini benar harus dibaca sebagai malayu
seperti yang dikemukakan oleh Krom, makin jelaslah bahwa tentara yang
disebut di dalam prasasti Kedukan Bukit ini, sebelum sampai di
Palembang, lebih dahulu datang ke Malayu, yakni di daerah Jambi
sekarang. Ditambah lagi jika kata mudita boleh diartikan mudik,
yakni ke selatan Palembang. Oleh karena itu, seandainya dugaan ini
benar, berarti dahulu ada seorang besar dari Minang Kabau pergi
berperang, berhenti lebih dahulu di Jambi, lalu teus ke Palembang
dengan mendapat kemenangan, lalu membuka kota di daerah itu, yang
diberi nama Sriwijaya.[18]
Sebaliknya, pendapat J.L. Moens yang mengatakan bahwa
raja pertama yang sampai di Bukit Siguntang ialah dari bangsa Kaudiyah
pada awal abad ke-6. Moh. Yamin dalam bukunya 6000 Tahun Sang Merah Putih mengaitkannya dengan Sejarah Melayu,
yang mengisahkan seorang yang bernama Nila Utama yang dijadikan menantu
Demang Lebar Daun, dan dirajakan di kaki bukit Siguntang Mahameru. Nila
Utama itulah yang bergelar Sang Si Purba dan sebagai raja pertama
disebut Dapunta Hyang yang mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Dapunta Hyang
lambat-laun berubah pengucapannya menjadi si Guntang.[19]
Sebagaimana diteorikan oleh Purbatjaraka ialah dari kata Minanga Kamwar lahirlah kata Minang Kabau.
Akan tetapi, bagaiman pula dengan teorinya Van der Tuuk, bahwa kata Minang Kabau berasal dari perkataan Pinang Khabu, yang berarti negeri asal.[20]
Menurut Ir. Zubir Rasjad, dan pertimbangan ini
diperkuat juga oleh Prof. Nasrun. Maka, Rasjad mencoba merekostruksikan
kejadian kata ini dengan menggunakan teori Westenenk. L.C, sebagai
berikut:
a) Pada
waktu kedatangan pedagang-pedagang India dalam permulaan tarikh Masehi
untuk mencari emas antara lain ke daerah pedalaman sungai Kampar yang
alirannya berasal dari pegunungan Emas, mereka menemui penduduk asli
(orang Khabu atau Kubu) telah mendulang emas. Dalam persentuhan
kebudayaan antara kedua bangsa putra-putra India itu datang kepada
kepala suku Kubu dengan membawa semacam “candydate” (bejana kencan) yang berisi pinang, sirih dan lain-lain sebagai tanda bahwa mereka menginginkan putri Kubu sebagai istri.
b) Cara mereka menyampaikan keinginan dengan membawa pinang itu, lambat-laun disebut “meminang” dan candy-date itu disebut oleh penduduk asli “carano”, artinya caranya meminang.
c) Orang-orang
Kubu yang kini disebut “suku terasing” adalah sisa-sisa dari penduduk
asli Minang Kabau. Mereka kini ditemui hidup di hutan-hutan Sumatera
Barat bagian Tenggara, bermasyarakat menurut kelompok keibuan (matrilineal system), dan memanggil orang Minang sebagai “sanak”, artinya saudara sepersukuan.
Pembagian alam Minang Kabau menjadi luhak dan rantau berkemungkinan dengan jalur-jalur yang dilalui dalam long march tahun + 1027 dengan nagari Pariangan di sebelah selatan gunung Merapi sebagai arah tujuan pertama sebagai berikut:
· Jalur Muara Takus, Limbanang, dan Sumanik dinamai Luhak Lima Puluh;
· Jalur Rokan, Rao, Bonjol, dan Batipuh dinamai Luhak Agam;
· Jalur Kampar Kiri, Buo, dam Suruaso dinamai Luhak Tanah Datar.
Penyusunan daerah inti Minang Kabau ini disebutkan dengan kata-kata adat:
“dibalah-balah patigo, sirauik pambalah rotan,
luhak dibaginyo tigo, adat dibaginyo salapan;
nan ampek tabang ka langik (artinya hanya tinggal kenangan);
aso bulan, duo mantari, tigo Timur, ampek Salatan;
rumah gadang, lumbung bapereng, sawah gadang, banda buatan”.
Dari Pariangan, long march dilanjutkan ke Solok. Di Solok disusun pula nagari-nagari yang tergabung menjadi “Kubung 13”. Dari Solok long march diteruskan ke:
· Alahan Panjang, Bayang, dan Indrapura (Pesisir Barat);
· Sijunjung, Sungai Dareh, dan Malayu (Batanghari).
Daerah-daerah ini; Solok, Sijunjung, Pesisir Barat bersama-sama dengan daerah yang ditinggalkan pada long march itu
seperti aliran Kampar, Indragiri, dan Rokan Kiri, disebut rantau.
Artinya daerah yang secara etnologis-budaya termasuk Minang Kabau.[21]
Jadi, jelas sudah, bahwa dari semua teori yang
dipaparkan di atas, sedikit sekali yang memiliki kesamaan dalam
penulisan asal-usul penamaan Minang Kabau. Sebagaimana penulis lain berpendapat bahwa asalnya dari kata Mainang Kabau, yang berarti Memelihara Kerbau.
Mengingat penulis bukanlah ahli dalam persoalan ini,
namun tak ada salahnya jika disepakati pendapat para ahli yang datang
belakangan di bawah ini.
Adalah kata “minang” berasal dari “mainang”, yang berarti memelihara kehidupan. Yaitu kehidupan hanya dapat berlangsung apabila tersedia air.
Sebagaimana penduduk yang bermukim di nagari Tanjung Sungayang dan
nagari Minang Kabau di dekat nagari Pagaruyuang di luhak nan Tuo,
Kabupaten Tanah Datar, yang sampai kini menyebut sumber mata air besar di kampung mereka dengan sebutan “minang”.
Minang memiliki beberapa pancuran untuk mengalirkan
air dari sumbernya, sedangkan mata air yang lebih kecil disebut sebagai
“luak”. Kata luak/luhak juga dipakai oleh penduduk lainnya di Sumatera
Barat untuk menyebut sumber mata air. Minang dan luhak memiliki makna
yang sama, yaitu sumber mata air atau memelihara kehidupan.
Sedangkan yang dikatakan “kabau” adalah makhluk yang paling dekat dengan kehidupan agraris nenek moyang mereka pada zaman doeloe.
Tenaga (daya) binatang ini sangat dibutuhkan untuk alat transportasi
dan produksi. Pun kerbau juga alat bantu yang sangat dibutuhkan dalam
kehidupan agraris untuk mencapai peningkatan mutu kehidupan. Hasil
pertanian tidak akan optimal apabila tidak ada binatang kerbau yang
membantu pekerjaannya. Adapun dagingnya juga dapat dijadikan syarat
utama untuk pesta-pesta adat dan lambang kehormatan.
Mereka tidak bisa hidup tanpa air dan mengembangkan
peradabannya tanpa keterlibatan kerbau sebagai alat bantu. Oleh karena
itu, munculah metafora “minang kabau” yang merupakan simbol dari
gabungan nilai kualitatif (minang) dengan simbol nilai kuantitatif
(kabau) untuk acuan kehidupan. Di sini makna kata “minang kabau” bukan
berarti “memelihara binatang kerbau” secara harfiah, akan tetapi
penggabungan dua kata, yang masing-masing kata memiliki nilai
sendiri-sendiri ibarat bit informasi bilangan digital.
Mengacu pada penjelasan yang disebut belakangan ini, maka tulisan Minangkabau yang ditulis seperti terdahulu, yaitu Minang
Kabau. Penulisan demikian mengacu kepada cara penulisan yang
asli—maksud dan tujuannya agar istilah “minang” dan ‘”kabau” lebih
mudah dipahami asal katanya. Demikian tulis Ilyas.[22]
[1] Soegiarso Soerojo. 1998 “Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai”. Jakarta: PT. Rola Sinar Perkasa. Hlm., xv.
[2] Lihat Jefry Hadler. 2010. “Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau”. Jakarta: Komunitas Bambu. Hlm., 18.
[3] Mid Jamal. 1982. “Manyigi Tambo Alam Minangkabau: Studi Perbandingan Sejarah”. Bukittinggi: CV. Tropik. Hlm.,16.
[5] Mid Jamal. 1982. “Manyigi Tambo Alam Minangkabau: Studi Perbandingan Sejarah”. Bukittinggi: CV. Tropik. Hlm., 27-28.
[6] A.A. Navis 1984.“Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau”. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Hlm., 7.
[7] Bandingkan
dengan pendapat I-Tsing, dengan berkiblat pada pendapat I-Tsing, maka
hanya sedikit sarjana yang meragukan bahwa Melayu yang disebut I-Tsing
itu adalah Jambi, tetapi tidak semua orang percaya bahwa Sriwijaya
sudah berdiri di Palembnang pada 671 M. Meskipun demikian, negeri yang
dikenal I-Tsing sebagai Sriwijaya itu ibukonya terletak di Palembang
dan bukan di tempat lain. Lihat dalam O.W. Wolters. 2011. “Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunnia Abad III- Abad VII”. Jakarta: Komunitas Bambu. Hlm., 251-253.
[8] Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2010. “Sejarah Nasional Indonesial II”. Cet. 4. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm., 73.
[9] A.A. Navis 1984.“Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau”. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Hlm., 53. Lihat Nadra. 2006. “Rekonstruksi Bahasa Minangkabau”. Padang: Andalas University Press. Hlm., 10. Lihat juga dalam H. Musyair Zainuddin. 2011. “Membangkit Batang Terendam: Adat Salingka Nagari di Minangkabau”. Yogyakarta: Ombak. Hlm., 37-39.
[10] Amir Sjarifoedin Tj.A. 2011. “Minangkabau dari Dinasti Zulkarnain sampai Tuanku Imam Bonjl”. Jakarta: PT: Gria Prima. Hlm., 16.
[11] A.A. Navis 1984.“Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau”. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Hlm., 53. Lihat Nadra. 2006. “Rekonstruksi Bahasa Minangkabau”. Padang: Andalas University Press. Hlm., 10. Lihat juga dalam H. Musyair Zainuddin. 2011. “Membangkit Batang Terendam: Adat Salingka Nagari di Minangkabau”. Yogyakarta: Ombak. Hlm., 37-39.
[12] A.A. Navis 1984.“Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau”. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Hlm., 53.
[13] Nama Upang itu memang
dijumpai di peta-peta kuno, dan masih ada sebagai nama sebuah desa
kecil di sebelah timur laut Palembang di tepi Sungai Musi. Selain itu,
Boechari juga menduga bahwa prasati Kedukan Bukit memperingati usaha
penaklukan daerah sekitar Palembang oleh Dapunta Hyang dan pendirian
ibu kota baru atau ibu kota yang kedua ditempat ini.
Masalahnya ialah, apakah
Desa Upang ini sama dengan toponim Mukha Upang dalam prasasti Kedukan
Bukit, perlu penelitian lebih lanjut. Temuan pecahan keramik Cina di
Desa Upang setelah diteliti oleh Abu Ridho, ternyata tidak ada yang
berasal dari abad VII atau VIII, melainkan berasal dari abad XIV sampai
abad XVIII. Lihat dalam Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2010. “Sejarah Nasional Indonesial II”. Cet. 4. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm., 74.
[14] Setelah kata wanua
batu prasastinya aus/rusak sehingga sukar untuk memperkirakan berapa
huruf yang hilang. Akan tetapi, ada kemungkinan juga bahwa kalimat di
baris ke-9 ini selesai sampai kata wanua ini saja, artinya setelah kata wanua ini tidak ada kata lainnya. Lihat Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2010. “Sejarah Nasional Indonesial II”. Cet. 4. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Hm.,.72.
[15] Lihat juga dalam Paul Michel Munoz. 2009. “Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia”. Yogyakarta: Mitra Abadi. Hlm., 168.
[16] Ph.S van Ronkel membaca kata ini menanga hamwar, sedangkan G. Coedes dan R.Ng. Poerbatjaraka membacanya minanga kamwar untuk
menunjang pendapatnya bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ialah daerah
Minangkabau atau sekitar pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Sungai
Kampar Kiri. Lihat dalam Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2010. “Sejarah Nasional Indonesial II”. Cet. 4. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Hm.,.72.
[17] A.A. Navis 1984.“Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau”. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Hlm., 7-8.
[18] Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2010. “Sejarah Nasional Indonesial II”. Cet. 4. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Hm., 73.
[19] A.A. Navis 1984.“Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau”. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Hlm., 8.
[20] Dalam Disertasi Siti Chairani Proehoeman. 2006. “Dendang Darek: Alternatif Pengembangan Cara Menyanyi Tradisional ke Cara yang Sesuai Dengan Kaidah Fisiologi”. UGM. Hlm., 81. Tidak dipublikasikan.
[21] Dalam Amir M.S. 2007. “Adat MMinangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang”. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya. Cet., ke-6. hlm., 50-52.
sumber : http://mulyadiputrablogspotcom.blogspot.com/2012/02/asal-usul-penamaan-minang-kabau_15.html
0 komentar:
Posting Komentar