Jika malam nisfu sya’ban datang, sebagian kaum muslimin melakukan
ibadah khusus seperti shalat dan membaca do’a. Apakah yang mereka
lakukan itu disyari’atkan ? Adakah dalil yang menunjukkan kelebihan
malam itu?
Mengenai keutamaan malam nisfu sya’ban ini terdapat beberapa buah hadits, antara lain berbunyi :
“Sesungguhnya Allah Ta’ala bertajalli (menampakkan diri) pada
malam nisfu sya’ban kepada hamba-hamba-Nya serta mengabulkan do’a
mereka, kecuali sebagian ahli maksiat.”
Hadits ini dianggap hasan oleh sebagian orang dan dilemahkan oleh
sebagian ulama yang lain, sehingga Al Faqih al Qadhi Abu Bakar bin
al-Arabi berkata, “Tidak ada satupun hadits yang shahih mengenai
keutamaan malam nisfu sya’ban.”
Tidak terdapat satu pun riwayat dari Nabi saw. Dan para shahabat
serta generasi pertama Islam—yang merupakan sebaik-baik generasi—bahwa
mereka berkumpul di masjid-masjid untuk menghidupkan malam ini dan
membaca do’a-do’a khusus serta melakukan shalat-shalat khusus pula
sebagaimana yang kita lihat di beberapa negara Islam.
Di beberapa negeri Islam, pada malam nisfu Sya’ban, orang-orang
berkumpul di masjid-masjid. Mereka membaca surat Yasin, kemudian
melakukan shalat dua raka’at dengan niat untuk panjang umur, lalu
shalat dua raka’at lagi dengan niat agar kaya dan ‘tidak berkeperluan’
kepada orang lain. Setelah itu, membaca do’a yang tidak diriwayatkan
dari seorangpun golongan salaf, yaitu do’a yang panjang, yang
bertentangan dengan nash, dan bertentangan ma’nanya antara satu dengan
yang lain. Dalam do’a itu mereka mengucapkan (yang artinya-peny):
“Ya Allah, jika Engkau telah mencatat aku di sisi-Mu dalam Ummul
Kitab sebagai orang yang celaka (sengsara), terhalang, terusir, atau
sempit rejeki-ku, maka hapuskanlah ya Allah dengn karunia-Mu akan
kecelakaan (kesengsaraanku), keterhalanganku,keterusiranku dan
kesempitan rejeki-ku itu. Dan tetapkanlah aku di sisi-Mu di dalam Ummul
Kitab sebagai orang yang bahagia, diberi rejeki, dan diberi pertolongan
kepada kebaikan seluruhnya, karena sesungguhnya Engkau telah berfirman,
dan firman-MU adalah benar, di dalam kitab-Mu yang Engkau turunkan dan
melalui lisan Nabi-Mu yang Engkau utus (Allah menghapuskan apa yang Dia
kehendaki dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nyalah
terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).”
Makna ayat yang disebut dalam bagian terakhir do’a di atas (Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang Dia
kehendaki, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab) ialah bahwa sesuatu
yang telah ditetapkan dalam Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh) tidak mungkin
dihapus atau ditambah dengan ketetapan baru. Kalau pun dapat dihapus
atau dibuat ketapan yang baru itu bukan pada catatan Lauh Mahfuzh,
melainkan pada selain itu, yaitu pada catatan malaikat dan lainnya.
Jadi bagaimana mungkin seorang hamba dapat meminta kepada Tuhannya agar
Dia menghapuskan dan menetapkan sesuatu yang baru di dalam Ummul Kitab
(Lauh Mahfuzh)?
Begitu pula do’a-do’a yang mereka ucapkan seperti: “Jika Engkau
telah menentukan begitu dan begini………..maka hapuskanlah ini dan itu,
atau perbuatlah begini dan begitu….” Hal itu menunjukkan keraguan,
padahal Nabi saw. Menyuruh kita berdo’a kepada Allah dengan mantap dan
sungguh-sungguh, tidak boleh merasa bimbang dan ragu-ragu. Dari sini
dapat kita simpulkan bahwa do’a nisfu Sya’ban tersebut salah dan tidak
mempunyai landasan sama sekali.
Dalam do’a tersebut juga terdapat ucapan :”Wahai Tuhanku,dengan
tajalli agung pada malam nisfu Sya’ban yang mulia, yang pada malam itu
segala urusan dijelaskan dan ditetapkan, hendaklah Engkau hilangkan
bala bencana dari kami, baik yang kami ketahui maupun yang tidak kami
ketahui…..”
Ucapan di atas juga merupakan kesalahan, karena yang dimaksud dengan
malam dijelaskannya segala urusan yang penuh hikmah (tentang hidup,
mati rejeki, nasib baik, nasib buruk, dan sebagainya) itu ialah malam
diturunkannya Al Quran, malam al Qadar, malam tajalli yang teragung,
yaitu pada bulan ramadhan menurut nash Al Quran. Allah berfirman:
“Haa Miiiim. Demi Kitab (Al Quran) yang menjelaskan,
sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi, dan
sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (Ad Dukhan : 1-4)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (AlQuran) pada malam kemuliaan“ (Al Qadr :1)
“Bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran…” (Al-Baqarah:185)
Jadi, secara meyakinkan dapat dikatakan bahwa yang dimaksud ‘malam
dijelaskannya segala urusan yang penuh hikmah itu ‘ yang disebutkan
dalam do’a nisfu Sya’ban tersebut adalah malam Al Qadar pada bulan
ramadhan sebagaimana ijma’ ulama. Adapun riwayat dari Qatadah yang
menyebutkan bahwa malam nisfu Sya’ban itu malam yang dijelaskannya
segala urusan yang penuh hikmah merupakan riwayat dha’if dan mudhtharib
(tidak meyakinkan). Sebelumnya dari Qatadah sendiri terdapat riwayat
yang menyebutkan bahwa malam itu ialah malam Al Qadar.
Ibnu Katsir menilai dha’if hadits yang menerangkan bahwa pada malam
nisfu Sya’ban telah ditetapkan ajal (manusia) dari bulan sya’ban yang
satu ke bulan sya’ban yang lain. Hal ini bertentangan dengan nash-nash
(Al-Quran dan hadist yang shohih).
Dari sini kita tahu bahwa do’a nisfu sya’ban tersebut penuh dengan
kekeliruan dan kesalahan, dan merupakan do’a yang tidak ada riwayatnya
dari nabi SAW, dari generasi umat terbaik (generasi sahabat, peny) dan
tidak diriwayatkan dari kalangan salaf.
Masalah berkumpul-kumpul (pada malam nisfu sya’ban) dalam bentuk
yang seperti yang kita lihat dan kita dengar di beberapa negara Islam,
itu merupakan bid’ah. Seharusnya mengenai peribadatan kita hanya
mengikuti riwayat yang ada. Kita tidak boleh mengada-ada. Kita mesti
mengikuti jalan kebenaran yang telah ditempuh orang-orang salaf, dan
meninggalkan jalan keburukan (bid’ah) yang diciptakan orang khalaf
(belakangan). Sebab, semua yang diadakan (dalam ibadah) adalah bid’ah,
semua bid’ah adalah sesat, dan semua kesesatan adalah tempatnya di
neraka (kullu bid’atin dholaalah wa kullu dhallaalatin fin naar, peny).
Semoga Allah memberi taufik kepada kita untuk mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw.dan sahabat-sahabat beliau.
***
(disalin dari: Hadyul Islam Fatawi Muashirah (terjemahan Jilid-1): Syaikh DR.Yusuf Qardhawy)
0 komentar:
Posting Komentar