Man Jadda Wajada

Siapa Yang Bersungguh-Sungguh Dia Yang Akan Berhasil

http://bundokanduang.wordpress.com/2008/09/27/selamat-hari-raya-iedhul-fitri-1429-h2008-m/

Asal Usul Budaya Merantau :
Setiap tahun karena euphoria Hari Raya Idul Fitri, selalu membuat hati para perantau semakin didera rasa rindu yang mendalam. Saat ini mereka berada disegala penjuru dunia.
Budaya Merantau” sudah melekat pada orang Minang sejak lama, hampir berabad-abad yang lalu. Ada beberapa motivasi orang minang merantau, yaitu :
· Untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya sehingga memperoleh kemaslahatan bagi kampong halaman.
· Untuk tujuan berdagang mencari saudagar dalam rangka mencari nafakah bagi keluarganya dan juga keluarga besarnya. Ingatlah, peran pria minang sebagai ayah bagi anak-anaknya dan juga sebagai mamak bagi kemenakananya,
· Akhirnya mencari pangkat (pekerjaan/jabatan) (Navis, 1999).
Jadi kebiasaan merantau bertujuan untuk mencari kebaikan bagi diri sendiri dan keluarga dan bukan karena sebab suatu celaan. Hal ini tercermin dari pepatah yang berbunyi : Jika hendak mulia – harus suka memberi, jika ingin ternama (terkenal) dirikan kemenangan, jika mau pandai rajin berguru, jika ingin kaya harus kuat berusaha”
“Merantau” mengandung banyak arti. Didalammnya terkandung falsafah hidup yang utuh dan hidup. Merantau mengandung tujuan yang pasti. Merantau diistilahkan pula “pai mancari”. Kadang kala ada yang berkata Dalam arti sem­pit, sekedar mencari bekal untuk hidup sementara, bisa juga berarti mencari “kehidupan” dalam arti yang luas.
“Rantau”, diartikan juga sebagai perluasan wilayah. Sebut sajalah dalam pembagian Luhak. Wilayah pesisir ranah Minang disebut Rantau. Kepada “anak minangkabau” yang akan memulai “merantau”, dalam arti yang luas, dipesankan sebuah petuah dari orang tua-tua dan para ninik mamak yang kemudian dirangkaikan dengan sebuah pesan (falsafah hidup), “Ibu cari, dusanak cari, induak samang cari dahulu”.
Maksudnya ; jika dikampung halaman meninggalkan saudara dan bundokanduang, maka ditanah perantauan ia hendaknya harus mencari orang yang dituakannya. Hakekatnya ialah, pandai menghormati “orang-tua” dimana saja. Selanjutnya “dunsanak” diartikan sebagai “sahabat”, “ konco palangkin” karena kawan sama besar – sama sepergaulan, bahkan “sesama tempat tugas”, harus dianggap sebagai saudara sendiri”.
Tidak heran, jika perkumpulan anak-anak Minangkabau di perantauan, baik yang didaerah-daerah, maupun diluar negeri, suasana persaudaraannya lebih terasa akrab melebihi saudara kandung.
Rantau China :
Entah siapa yang mengawali istilah “ Rantau China”, yang jelas ketika saya ditanya sesama “urang Minang”, pastilah mereka akan bertanya dengan segala keramahannya.
“ Dima kampuang Uni..? Pasti secara spontan saya menjawab ; “ Di kota Padang…. Jika lebih lanjut mereka bertanya ; “ dima Padang nyo .. Ni.
Hati saya sedih sekali, tidak bisa menunjukkan rumah gadang kami. Sungguhpun sudah beberapa kali pulang kampung, tidak ada rumah gadang yang akan kami naiki, melainkan yang ada hanyalah “ Rumah Ambo”.
Berkali-kali kami tinggal di Rumah Tumpangan (Hotel – istilah saudara kita serumpun – Malaysia) manakala kami pulang kampung. Tujuan pulang kampong tidak lagi sekedar bersilaturahmi akan tetapi hanya untuk berdarmawisata, walaupun tempat tujuan wisata yang kita tuju belum tergarap baik bahkan semakin stagnan saja.
Yang jelas rantau china dimaksudkan untuk para perantau yang tidak pernah pulang kekampung halamannya.
Banyak sebab mereka tidak akan pernah pulang, diantaranya ;
- Tidak ada sanak saudara / kerabat bahkan ada yang leluhur mereka sudah punah,
- Tidak ada rumah gadang dan harta pusaka lagi, dan
- Tidak ada pandam pakuburan,
Ada kemiripan “orang Minangkabau dengan “ orang China dalam hal merantau dan berdagang. Semisal orang China, disebahagian orang Minangkabau yang tidak pernah pulang – karena sudah beradaptasi dengan budaya setempat. Inilah yang disebut “ Rantau China”. Falsafah yang menyatakan “ dimana bumi dipijak disana langit dijunjung” – benar-benar sebagai realita pola penyesuaian diri di rantau. Wilayah rantau tersebut sebagai kampung halamannya.
Dahulu orang mencari ilmu keluar ranahnya selagi ia belum berguna bagi kampung halamannya. Pendidikan moral yang dibekali orang tua kepada sang anak yang merantau adalah berbekal anggota tubuh yang dikenal dengan “ tulang salapan karek” sebagai modal fisik dan tenaga. Untuk mencari Ilmu ini – bahkan mengejarnya hingga ke negeri China.
Rantau China juga dapat ditafsirkan bahwa mereka sudah tidak memperhatikan kaedah-kaedah yang berdasarkan adat dan budaya karena sudah terbenam dalam usaha mencari hidup dan berebut hidup. Tidak ada kampung tempat pulang. Karena sudah terbenam diperantauan, tidak ingat lagi anak kemenakan, tidak pernah berbuat baik ke kampong halaman, tidak pula mau tahu dengan lingkungan. Untuk mengantisipasi pemeo ini, dipesankan melalui petuah “Hujan emas di negeri orang hujan batu dinegeri awak namun, kampong halaman dkana juo.


0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Berlangganan

Enter your email address:

animasi bergerak naruto

Assalamu'alaikum....

"Tetaplah Rendah Hati Meski Diberi Kelebihan , Karena Cahaya Ilmu Takkan Hadir Direlung Hati Yang Angkuh"


Artikel Pilihan

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers


SILAHKAN COPY PASTE


Anda DIPERBOLEHKAN KOPI PASTE Semua Artikel atau Tulisan yang Ada disini

Syaratnya satu: Cantumkan Link Blog ini di dalam Artikel yang Anda KOPI PASTE!!

Arsip

Info Pengunjung Hari Ini

Kategori

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
free counters