http://geosejarah.org/index.php?option=com_content&view=article&id=65:kerajaan-pagaruyung-hegemoni-melampaui-sekat-sekat-kewilayahan&catid=34:artikel&Itemid=59
Kerajaan Pagaruyung merupakan sebuah kerajaan yang berpusat di luhak
Tanah Datar, Minangkabau. Istana kerajaan berada di Nagari Pagaruyung,
yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan raja. Kerajaan Pagaruyung
disebut juga sebagai kerajaan Minangkabau. Luhak Tanah Datar sendiri
merupakan salah satu bagian dari luhak nan tigo yang terdapat dalam
konsepsi masyarakat Minangkabau terutama tentang alamnya. Kerajaan
Pagaruyung itu sendiri didirikan oleh Adityawarman dan mencapai
puncaknya sekitar abad ke-14 dan ke-15, ketika Adityawarman masih
berkuasa . Adityawarman adalah putra dari Dara Jingga dari Tanah
Melayu, cucu Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, yang dibesarkan di
Majapahit. Faktor itu pula yang menyebabkan ketika Adityawarman
memerintah, pengaruh Kerajaan Majapahit sangat jelas. Bahkan pada masa
pemerintahan Adityawarman organisasi pemerintahan kerajaan disusun
menurut sistem organisasi yang berlaku di Majapahit. Begitu juga dengan
sistem pemerintahan, tampaknya pola Kerajaan Majapahit dipakai pula
oleh Kerajaan Pagaruyung. Pada dasarnya sistem pemerintahan di wilayah
kerajaan terdiri atas dua pola, di Majapahit terdiri dari wilayah
bawahan, dengan pimpinan raja bawahan, yang umumnya adalah anggota raja
di pusat pemerintahan, dan wilayah mancanegara, yaitu daerah taklukan
yang dipimpin raja wilayah itu sendiri. Sedangkan pola yang dipakai di
Minangkabau ialah wilayah rantau, yaitu kerajaan yang dipimpin oleh
raja kecil sebagai wakil raja di Pagaruyung, dan wilayah Luhak yang
dipimpin para penghulu. Wilayah itu masing-masing diatur menurut sistem
yang berbeda satu sama lain, sebagaimana yang diungkapkan mamang “luhak
berpenghulu, rantau beraja”.
Kerajaan Pagaruyung disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau
merupakan salah satu kerajaan yang pernah ada dalam khazanah sejarah
Minangkabau. Kerajaan yang diperkirakan berdiri pada abad ke-14 di
daerah darek Minangkabau, tepatnya berpusat di Pagaruyung, Batusangkar.
Kerajaan tersebut mencapai puncak kejayaan sekitar abad ke-15 Masehi,
semasa pemerintahan Adityawarman berkuasa (Amran, 1981 : 37 ; Kiram,
dkk, 2003 : 11 dan Imran, 2002 : 20). Sebagai sebuah kerajaan besar
dizamannya, Kerajaan Pagaruyung sendiri memiliki kerajaan kecil sebagai
“wakil raja” untuk memerintah di daerah. Kerajaan-kerajaan ini
merupakan bagian dari Kerajaan Pagaruyung dan langsung diberi otonomi
khusus untuk mengurus kepentingan pemerintah dan ekonominya.
Raja-raja dibawah panji Kerajaan Pagaruyung tersebut telah menyebar
ke berbagai daerah, bukan saja di Indonesia namun sampai ke
mancanegara, yakni Malaysia dan Brunei Darussalam. Kekuasaan Kerajaan
Pagaruyung tersebut telah membentuk suatu hegemoni, dibawah Raja Alam
berpusat di Pagaruyung. Khusus di alam Minangkabau, raja-raja kecil
tersebut berjumlah 61 buah kerajaan, baik yang ada di daerah darek dan
rantau Minangkabau. Mereka biasanya dipangil dengan istilah Yang
Dipertuan, Rajo, dan Sutan. Mereka ada yang berasal dari keturunan
langsung raja Pagaruyung dan adapula yang ditunjuk oleh raja sebagai
wakilnya untuk memerintah di daerah. Dalam kondisi inilah muncul
hubungan yang diistilahkan dengan sapiah balahan, kuduang karatan,
kapak radai, dan timbang pacahan Kerajaan Pagaruyung.
Beranjak dari persoalan di atas, tulisan ini sesungguhnya ingin
menjelaskan tentang keberadaan Kerajaan Pagaruyung dari segi geografi
sejarah. Sebuah kerajaan yang ada di ranah Minangkabau, namun secara
wilayah telah melampaui sekat-sekat kewilayahannya. Diawali dengan
memaparkan tentang Kerajaan Pagaruyung itu sendiri, struktur Kerajaan
Pagaruyung, bukti keberadaan Kerajaan Pagaruyung serta Kerajaan
Pagaruyung, hegemoni melampaui sekat-sekat kewilayahan.
Pembentukan Kerajaan Pagaruyung oleh Adityawarman merupakan
peristiwa penting dalam sejarah Minangkabau, karena peristiwa itu
menunjukkan usaha pertama dalam pembentukan sebuah sistem otoritas yang
berada di atas tingkat nagari yang otonom. Walaupun selanjutnya
kedudukan raja di dalam pemerintahan alam Minangkabau lebih bersifat
sebagai pemersatu nagari-nagari otonom tersebut. Otoritas tradisional
Raja Minangkabau hanya merupakan simbol persatuan dari
republik-republik nagari Minangkabau dan pemelihara hubungan dengan
masyarakat di luar alam Minangkabau. Raja meminjamkan daulatnya kepada
kerajaan dan raja merupakan lambang dari persatuan Minangkabau sebagai
satu keseluruhan.
Sepeninggal Adityawarman, raja-raja Pagaruyung tetap dihormati rakyat sebagai tokoh yang menjaga keseimbangan dan keutuhan serta sebagai pemungut pajak (uang adat) yang menjadi ikatan politik. Raja mempunyai basis kekuasaan berupa pemungut pajak di kawasan rantau seperti pajak pelabuhan, pajak perdagangan dan berbagai bentuk uang adat. Pada prinsipnya, pemungutan pajak itu merupakan pemenuhan kewajiban adat. Demikian juga halnya ada pajak untuk mendirikan rumah, bangunan-bangunan balai adat, dan lain-lain.
Raja Minangkabau, yang berkedudukan di Pagaruyung selalu menerima
pajak atau upeti dari raja di rantau seperti Siak, Indragiri, Air
Bangis, Sungai Pagu, Batang Hari, bahkan dari Batak. Pemungutan pajak
di rantau kadang kala juga diserahkan kepada raja atau utusannya yang
datang ke rantau untuk menjemput uang adat yang terkumpul. Hubungan
dengan raja di rantau ada juga yang berlangsung melalui hubungan
perkawinan, dikirim langsung dari Pagaruyung dan sebagainya, hingga
muncul istilah sapiah balahan, kuduang karatan, kapak radai, dan
timbang pacahan Kerajaan Pagaruyung. Penempatan raja di rantau mendapat
restu dari raja Pagaruyung, seperti raja Pulau Punjung adalah raja
setempat yang diangkat dan ditetapkan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung.
Raja Sungai Pagu mempunyai hubungan darah dengan keluarga Pagaruyung.
Orang Minangkabau tidak memandang daerah dan lembaga-lembaga kerajaannya sebagai sebuah negara (state) yang memiliki batas-batas daerah yang jelas, dalam arti kata hegemoni yang melampaui batas-batas kewilahannya. Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan untuk memungut pajak, memerintahkan atau menyuruh orang menjadi tentara dan memaksakan hukum. Bahkan tidak ada bukti-bukti bahwa kerajaan pernah membebankan pajak pendapatan dan kerja wajib kepada rakyat . Menurut Dobbin (1974 : 319-356), sumber keuangan dari kerajaan adalah : (1) pajak perdagangan di pintu-pintu keluar masuk kerajaan, (2) pembayaran uang sidang dalam penyelesaian perkara, (3) hasil sawah yang dikerjakan oleh orang hukuman dan pelayan-pelayannya. Juga tidak ada bukti-bukti sejarah yang memperlihatkan bahwa raja memaksakan kekuasaan politiknya terhadap masalah internal dari nagari-nagari. Nagari tetap memelihara sistem politik mereka yang otonom yang berpusat pada penghulu dan dewan penghulu. Kelihatannya otoritas raja hanya terbatas pada fungsi sebagai “penengah” bila konflik antar nagari tidak dapat diselesaikan oleh nagari yang bersangkutan dan nagari-nagari tersebut meminta raja sebagai juru damai.
Dalam sistem pemerintahannya kerajaan induk memberikan otonomi
khusus. Walaupun demikian halnya, dalam kenyataannya hal tersebut tidak
berlaku dalam soal ekonomi. Hubungan keduanya pada awalnya bersifat
desentralistik kemudian menjadi semi desentralistik. Sebab raja-raja
kecil harus menyerahkan semacam “upeti” sebagai landasan atas bawahan
dan atasan. Namun dalam bidang lainnya tidak seperti itu, raja
Pagaruyung walaupun diakui sebagai atasan, praktis sudah tidak
mempunyai kekuasaan sama sekali dan hanya diakui karena adat dan
tradisi saja dimana-mana. Sebaliknya, raja di Pagaruyung sudah puas
asal diakui saja sebagai Yang Dipertuan dan mendapat “mas manah” tiap 3
(tiga) tahun sekali dari rantau. Paling-paling tugas Yang Dipertuan
Pagaruyung tadi mengukuhkan seorang raja, atau menyelesaikan kalau ada
sedikit perselisihan antara raja-raja kecil. Ini pun dilakukan kalau
diminta. Ikatan sebetulnya praktis sudah tidak ada dan raja-raja
dirantau tadi merdeka dalam tindakan. Siapa yang kuat dapat membawahi
lagi beberapa raja kecil didekatnya. Adat istiadat setempat yang timbul
perlahan-lahan, lama-kelamaan mendarah daging, sehinga agak berbeda
dari adat istiadat istana. Dengan demikian, dirantau bisa saja muncul
kerajaan-kerajaan kecil yang kuat dengan adat kebiasaan sendiri,
membawahi pula satu atau beberapa raja.
Umumnya raja-raja kecil tersebut berada di daerah rantau, walaupun
ada di daerah darek Minangkabau. Daerah rantau disebut juga sebagai
rantau hilie karena wilayahnya berdekatan dengan pantai maupun sungai,
juga rantau mudiak. Di samping rantau hilie masih ada dua daerah rantau
yaitu, Lubuk Sikaping dan Rao yang merupakan rantau dari Luhak Agam.
Rantau selatan yang merupakan luhak Tanah Datar meliputi Solok, Selayo,
Muara Panas, Sawahlunto Sijunjung dan terus ke perbatasan Riau dan
Jambi.
Menurut Tambo, setelah proses pembentukan daerah-daerah rantau tahap
awal selesai, maka batas-batas daerah Alam Minangkabau periode abad
ke-16 meliputi, riak nan badabua, siluluk punai, mati sirangkak nan
badangkang buayo putiah daguak, taratak Aia Hitam, Kasikilang Aia
Bangih sampai kadurian di Takuak Rajo. Dengan demikian wilayah budaya
Minangkabau telah terbentuk dengan sendirinya dan falsafah hidup
masyarakatnya sama dengan yang ada di kawasan inti, termasuk sistem
politik dan struktur masyarakatnya.
Hal ini tidak terlepas dari struktur politik alam Minangkabau yang
terkandung dalam pepatah adat, mengatakan luhak bapanghulu, rantau
barajo (luhak berpenghulu, rantau beraja). Raja adalah pemegang
kekuasaan tertinggi di Alam Minangkabau, terutama kurun waktu abad 14
hingga pertengahan abad 18. Pemegang kekuasaan tertinggi terdiri dari
tiga serangkai yang disebut Rajo nan tigo selo. Rajo nan tigo selo
terdiri dari Raja Alam, Raja Ibadat dan Raja Adat. Meskipun Raja Adat
dan Raja Ibadat mempunyai daerah kekuasaan sendiri-sendiri namun
menurut struktur kekuasaan di Alam Minangkabau, Raja Alam merupakan
pimpinan tertinggi dari raja-raja lainnya. Gelar dan fungsi Raja Alam
ini dipusakai secara turun-temurun dari pihak ayah.
Bukti Kerajaan Pagaruyung
Keberadaan Kerajaan Pagaruyung, biasa disebut pula dengan Kerajaan Melayu Minangkabau atau Kerajaan Minangkabau saja, terutama raja Adityawarman dapat dibuktikan dengan ditemukannya bukti tertulis berupa prasasti, diantaranya pertama, Prasasti Pagaruyung I atau prasasti Bukit Gombak, digoreskan pada sebuah batu pasir kuarsa warna coklat kekuningan (batuan sedimen) berbentuk empat persegi berukuran tinggi 2,06 meter, lebar 1,33 meter, dan tebal 38 centimeter. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sansekerta bercampur dengan bahasa Melayu Kuno atau Jawa Kuno. Prasasti Pagaruyung I berisi tentang puji-pijian akan keagungan dan kebijaksanaan Adityawaraman sebagai raja yang banyak menguasai pengetahuan, khususnya dibidang keagamaan, Adityawarman dianggap sebagai cikal bakal keluarga Dharmaraja, prasasti Pagaruyung I berisi pula tentang pertanggalan saat penulisan prasasti. Pertanggalan dalam prasasti ini ditulis dalam bentuk kalimat candra sengkala berbunyi wasur mmuni bhuja sthalam atau dewa ular dan pendeta yang menjadi lengan dunia. Masing-masing kata di atas mempunyai nilai tertentu, bila dirangkai akan menjadi angka tahun. Wasur beragka 8, mmuni bernilai 7, bhuja bernilai 2, dan sthalam = 1. Angka tersebut dibaca dari belakang sehingga menghasilkan angka tahun 1278 Saka (1356 M).
Keberadaan Kerajaan Pagaruyung, biasa disebut pula dengan Kerajaan Melayu Minangkabau atau Kerajaan Minangkabau saja, terutama raja Adityawarman dapat dibuktikan dengan ditemukannya bukti tertulis berupa prasasti, diantaranya pertama, Prasasti Pagaruyung I atau prasasti Bukit Gombak, digoreskan pada sebuah batu pasir kuarsa warna coklat kekuningan (batuan sedimen) berbentuk empat persegi berukuran tinggi 2,06 meter, lebar 1,33 meter, dan tebal 38 centimeter. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sansekerta bercampur dengan bahasa Melayu Kuno atau Jawa Kuno. Prasasti Pagaruyung I berisi tentang puji-pijian akan keagungan dan kebijaksanaan Adityawaraman sebagai raja yang banyak menguasai pengetahuan, khususnya dibidang keagamaan, Adityawarman dianggap sebagai cikal bakal keluarga Dharmaraja, prasasti Pagaruyung I berisi pula tentang pertanggalan saat penulisan prasasti. Pertanggalan dalam prasasti ini ditulis dalam bentuk kalimat candra sengkala berbunyi wasur mmuni bhuja sthalam atau dewa ular dan pendeta yang menjadi lengan dunia. Masing-masing kata di atas mempunyai nilai tertentu, bila dirangkai akan menjadi angka tahun. Wasur beragka 8, mmuni bernilai 7, bhuja bernilai 2, dan sthalam = 1. Angka tersebut dibaca dari belakang sehingga menghasilkan angka tahun 1278 Saka (1356 M).
Kedua, prasasti Pagaruyung II, berhuruf Jawa Kuno dengan bahasa
Sansekerta. Isi dari prasasti ini belum dapat dijelaskan secara
lengkap, namun dilihat dari angka tahunnya yakni 1295 Saka atau 1373
M sejaman dengan prasasti Adityawarman lainnya. Ketiga, Prasasti
Pagaruyung III, isi prasasti hanya berupa keterangan pertanggalan tanpa
menyebutkan suatu peristiwa tertentu, kemungkinan besar prasasti ini
ditempatkan pada konteks bangunan (candi) atau bangunan keagamaan lain.
Keempat, Prasasti Pagaruyung IV, prasasti yang mengunakan huruf Jawa
Kuno dan bahasa Sansekerta serta berasal dari masa Adityawarman. Hal
ini ditunjukkan dengan penyebutan nama Adityawarman pada baris ke-13.
Kemudian pada baris ke-9 ada kata sarawasa, kata yang hampir sama dapat
dijumpai pada Prasasti Saruaso I, yaitu surawasawan, yang kemudian
berubah menjadi Saruaso, nama sebuah nagari (desa) di Kabupaten Tanah
Datar + 7 kilometer dari Kota Batusangkar. Kelima, Prasasti Pagaruyung
V, berisi tentang masalah taman dan diluar kelaziman prasasti dari
Adityawarman. Keenam, Prasasti Pagaruyung VI, merupakan stempel atau
cap pembuatan bagi Tumanggung Kudawira. Berdasarkan jabatan dan namanya
dapat diketahui bahwa Tumanggung Kudawira berasal dari Jawa, dan
jabatan yang tersandang lazim dipakai pada masa kerajaan Singasari dan
Majapahit. Namun keterangan lebih jauh mengenai tokoh ini, belum ada
temuan lain yang dapat menjelaskannya.
Ketujuh, Prasasti Pagaruyung VII, prasasti ini tidak diketahui angka
tahunnya, hanya didalamnya menyebutkan nama Sri Akarendrawarmman
sebagai maharadjadiraja. Pemakaian nama warmman dibelakang menunjukkan
bahwa Sri Akarendrawarmman masih ada hubungan darah dengan
Adityawarman. Berbagai ahli menyebutnya sebagai saudara Adityawarman
dan karana gelarnya adalah maharadjadhiraja tentunya ia sudah menjadi
raja saat mengeluarkan prasasti tersebut, mungkin sesudah Adityawarman
turun tahta (meninggal). Kedelapan, Prasasti Pagaruyung VIII, prasasti
yang dibuat pada masa Aditiawarman, ini berdasarkan tahun
dikeluarkannya yakni 1291 Saka atau 1369 M. Menurut Casparis bahwa
Prasasti Pagaruyung VIII mempunyai pertanggalan dalam bentuk candra
sengkala yaitu sasi atau bulan bernilai 1, kara atau tangan bernilai
2, awacara atau suasana bernilai 3, dan turangga atau kuda berangka
8. Candra sengkala ini sama dengan 1238 Saka atau 1316 M. Hingga
kahirnya Casparis menyimpulkan melalui berdasarkan isi prasasti
tersebut bahwa Akarendrawarmman yang disebut dalam prasasti tersebut
merupakan mamak (saudara ayah) dari Adityawarman, sedangkan
Adwayawarman (Ayah Adityawarman seperti disebut dalam Prasasti Kuburajo
I) tidak pernah memerintah selaku seorang raja di Sumatera Barat).
Kesembilan, Prasasti Pagaruyung IX, fragmen prasasti ini sekarang
disimpan di Ruang Koleksi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Batusangkar. Jika melihat bentuk dan gaya tulisannya, maka kemungkinan
prasasti ini berasal dari masa pemerintahan Adityawarman.
Kesepuluh, Prasasti Saruaso I, prasasti yang berasal dari Raja
Adityawarman yang berangka tahun 1297 atau 1375 Masehi. Prasasti
tersebut berisi tentang suatu maklumat atau pengabaran tentang upacara
keagamaan yang dilakukan oleh Raja Adityawarman sebagai seorang
penganut Budha Mahayana sekte Bhairawa. Kesebelas, Prasasti Saruaso II,
isi pokok dari prasasti tersebut adalah tentang seorang rajamuda
(yauwaraja) yang bernama Ananggawarman. Disebutkan pula bahwa
Ananggawarman merupakan anak (tanaya) dari Raja Adityawarman (1347-1375
M) yang kemungkinan masih berkuasa pada saat prasasti tersebut ditulis.
Keduabelas, Prasasti Kuburajo I, berisi tentang tentang sebuah
genealogis atau garis keturunan Raja Adityawarman. Pada garis kedua
disebutkan seorang tokoh bernama Adwayawarman yang berputra Raja Kanaka
Medinidra. Ketigabelas, Prasasti Kuburajo II, prasasti yang berasal
dari masa Adityawarman. Beberapa kata yang dapat dibaca dari prasasti
ini antara lain rama (baris pertama), yang dapat berarti ketua desa.
Dan pembacaan pada baris ketiga menghasilkan kata puri dan sthana yang
berarti tempat peristirahatan di istana, dan pada baris terakhir
dijumpai kata srima yang merupakan penggalan dari kata sri maharadja,
sedangkan tulisan yang lain tidak terbaca karena aus. Keempatbelas,
Prasasti Rambatan, berada di Nagari Empat Suku Kapalo Koto, Kecamatan
Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Prasasti ini terdiri dari 6 baris
tulisan dalam huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno. Keadaan
tulisan sudah cukup aus, sehingga hanya beberapa kata saja yang
terbaca. Prasasti tersebut berbentuk sloka sardulawikridita dan
wangsastha 14. Di atas tulisan terdapat hiasan 2 (dua) ekor ular yang
saling berbelit. Bentuk hiasan yang demikian dijumpai pula dalam
beberapa prasasti peninggalan Adityawarman lainnya. Kelimabelas,
Prasasti Ombilin, terletak di depan Puskesmas Rambatan I, dekat Danau
Ombilin, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Isi prasasti
tersebut antara lain berupa penghormatan kepada Adityawarman yang
pandai membedakan dharma dan adharma, ia punya sifat sebagai matahari
yang membakar orang jahat, tetapi menolong orang baik. Keenambelas,
Prasasti Bandar Bapahat, berada di Bukit Gombang, Kabupaten Tanah
Datar. Dari prasasti tersebut dijumpai nama Adityawarnan dan grama sri
surawasa. Ketujuhbelas, Prasasti Pariagan, ditemukan di tepi Sungai
Mengkaweh, di sebelah timur kota Padang Panjang. Prasasti ini
dipahatkan pada batu monolit non-artifisial berbentuk setengah
lingkaran dengan tulisan berjumlah 6 baris. Aksara yang dipakai sama
dengan aksara prasasti Adityawarman lainnya.
Kedelapanbelas, Prasasti Amogrhapasa, prasasti ini dipahatkan pada bagian belakang Arca Amoghapasa yang ditemukan di Rambahan di hulu Sungai Batanghari. Isi prasasti ini antara lain: Adityawarman menyebut dirinya Maharajadiraja, nama lain yang dipakainya adalah Udayadityawarman, ada upacara Bhairawa, karena indikasi matangini dan matanginisa, ada nama Tuhan Prapatih sebagai pejabat tinggi dari Adityawarman, Acaryya Dharmmasekhara mendirikan Arca Budha dengan nama Gaganagnja, ada restorasi candi, berdasarkan indikasi kalimat jirnair udharita, ada pemujaan kepada jina, ada sebutan Rajandra Mauli Maliwarmmadewa Maha rajadhiraja dan nama Malayupura. Kesembilanbelas, dipahatkan pada lapik Arca Amoghapasa yang ditemukan di Jorong Sungai Langsat, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya. Isi dari prasasti ini menyebutkan bahwa pada tahun 1208 Saka (1286 M), Bulan Badrawada Tanggal 1 paro terang, Arca Amogapasha dibawa dari Bumi Jawa dan ditempatkan di Dharmasraya. Arca ini merupakan persembahan dari Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara (dari kerajaan Singosari di Jawa) untuk Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa dari Melayu Dharmasraya.
Struktur Kerajaan Pagaruyung
Rajo Tigo Selo
Rajo Tigo Selo merupakan institusi tertinggi dalam Kerajaan Pagaruyung yang dalam tambo adat disebut Limbago Rajo. Tiga orang raja masing-masing terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat yang berasal dari satu keturunan. Ketiga raja dalam berbagai tulisan tentang Kerajaan Pagaruyung ditafsirkan sebagai satu orang raja. Dari ekspedisi Pamalayu, diketahui bahwa saat Mahesa Anabrang berkunjung, saat itu kerajaan Pagaruyung dipimpin oleh Tribuana Raja Mauli Warmadew. Arti kata tersebut adalah tiga raja penguasa bumi yang berasal dari keluarga Mauli Warmadewa. Antara anggota Raja Tigo Selo selalu berusaha menjaga hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan cara saling mengawini dengan tujuan untuk memurnikan darah kebangsawanan di antara mereka, juga untuk menjaga struktur tiga serangkai kekuasaan agar tidak mudah terpecah belah. Raja Alam merupakan yang tertinggi dari kedua raja; Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam memutuskan hal-hal mengenai kepemerintahan secara keseluruhan. Raja Adat mempunyai tugas untuk memutuskan hal-hal berkaitan dengan masalah peradatan, dan Raja Ibadat untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut keagamaan.
Basa Ampek Balai
Dalam struktur pemerintahan Kerajaan Pagaruyung, Rajo Tigo Selo atau Raja Tiga Sila, dibantu oleh orang besar atau basa yang kumpulannya disebut Basa Ampek Balai, empat orang besar yang mempunyai tugas, kewenangan-kewenangan dan tempat kedudukan atau wilayah sendiri pada nagari-nagari yang berada di sekeliling pusat kerajaan, Pagaruyung. Pertama, Datuk Bandaro Putiah yang bertugas sebagai panitahan atau Tuan Titah mempunyai kedudukan di Sungai Tarab – dengan gelar kebesarannya Pamuncak Koto Piliang. Panitahan merupakan pimpinan, kepala atau yang dituakan dari anggota Basa Ampek Balai dalam urusan pemerintahan. Kedua, Tuan Makhudum yang berkedudukan di Sumanik dengan julukan aluang bunian Koto Piliang yang bertugas dalam urusan perekonomian dan keuangan. Ketiga, Tuan Indomo berkedudukan di Saruaso dengan julukan Payung Panji Koto Piliang dengan tugas pertahanan dan perlindungan kerajaan. Keempat, Tuan Khadi berkedudukan di Padang Ganting dengan julukan Suluah Bendang Koto Piliang dengan tugas mengurusi masalah-masalah keagamaan dan pendidikan.
Dalam struktur pemerintahan Kerajaan Pagaruyung, Rajo Tigo Selo atau Raja Tiga Sila, dibantu oleh orang besar atau basa yang kumpulannya disebut Basa Ampek Balai, empat orang besar yang mempunyai tugas, kewenangan-kewenangan dan tempat kedudukan atau wilayah sendiri pada nagari-nagari yang berada di sekeliling pusat kerajaan, Pagaruyung. Pertama, Datuk Bandaro Putiah yang bertugas sebagai panitahan atau Tuan Titah mempunyai kedudukan di Sungai Tarab – dengan gelar kebesarannya Pamuncak Koto Piliang. Panitahan merupakan pimpinan, kepala atau yang dituakan dari anggota Basa Ampek Balai dalam urusan pemerintahan. Kedua, Tuan Makhudum yang berkedudukan di Sumanik dengan julukan aluang bunian Koto Piliang yang bertugas dalam urusan perekonomian dan keuangan. Ketiga, Tuan Indomo berkedudukan di Saruaso dengan julukan Payung Panji Koto Piliang dengan tugas pertahanan dan perlindungan kerajaan. Keempat, Tuan Khadi berkedudukan di Padang Ganting dengan julukan Suluah Bendang Koto Piliang dengan tugas mengurusi masalah-masalah keagamaan dan pendidikan.
Dalam struktur dan tatanan kerja Kerajaan Pagaruyung, selain Basa Ampek Balai sebagai pembantu raja, juga dilengkapi dengan seorang pembesar lain yang bertugas sebagai panglima perang yang setara dengan anggota Basa Ampek Balai lainnya, disebut Tuan Gadang. Jabatan ini berkedudukan di Batipuh dengan julukan Harimau Campo Koto Piliang. Tuan Gadang bukanlah anggota dari Basa Ampek Balai, tetapi setara dengan masing-masing anggota Basa Ampek Balai dan tetap takluk kepada raja. Setiap basa, mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus masalah-masalah daerah kedudukannya. Masing-masing membawahi beberapa orang datuk di daerah tempat kedudukannya, tergantung kawasannya masing-masing. Setiap basa diberi wewenang oleh raja untuk mengurus wilayah-wilayah tertentu, untuk memungut pajak atau cukai yang disebut ameh manah. Misalnya Datuk Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu. Makhudum untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan. Indomo untuk daerah pesisir barat utara. Tuan Kadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan.
Yang Dipertuan Gadis
Gelaran Yang Dipertuan Gadis dilekatkan kepada perempuan yang dianggap dapat menjadi pimpinan kaumnya di dalam keluarga raja mendampingi Raja Pagaruyung. Raja Pagaruyung sendiri mempunyai gelaran Yang Dipertuan Bujang. Dengan demikian dapat dipahamkan bahwa laki-laki yang dinobatkan menjadi Raja Pagarayung dipanggil juga Yang Dipertuan Bujang, disamping gelaran-gelaran kebesarannya lainnya seperti; Sultan Abdul Jalil, Yang Dipertuan Sembahyang, Yang Dipertuan Hitam dan banyak gelaran kebesaran lainnya. sedang yang perempuan (ibu, saudara perempuan) dipanggilkan Yang Dipertuan Gadis. Perempuan yang boleh diberi gelar Yang Dipertuan Gadis adalah perempuan terdekat dalam keturunan raja, terutama dalam kaitan pertalian sistem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu, adagium adat dalam tambo tersebut disebutkan; adat rajo turun tamurun, adat puti sunduik basunduik. Pepatah ini bermakna bahwa gelar turun temurun mengikuti garis keturunan patrilineal, sedangkan sunduik basunduik dimaksudkan sebagaimana mengikuti garis keturunan matrlineal. Dengan demikian, seorang laki-laki dalam keturunan tersebut dapat menjadi raja, apabila ibunya adalah keturunan raja dan akan semakin kuat lagi kalau ayahnya juga keturunan raja. Para perempuan keturunan raja menurut garis matrilineal, di dalam Tambo Pagaruyung umumnya memakai nama kecil tersendiri yaitu, Puti Reno. Dari sekian Puti Reno itulah nanti dipilih untuk dijadikan Yang Dipertuan Gadis. Pemberian gelar Puti Reno hanya dikhususkan bagi perempuan keturunan raja Pagaruyung saja. Disepakati oleh Basa Ampek Balai. Oleh karena itu, di dalam Tambo Pagaruyung tersebut banyak ditemui nama-nama perempuan dengan pangkal nama Puti Reno. Begitu juga banyak perempuan yang digelari Yang Dipertuan Gadis. Yang Dipertuan Gadis adalah nama gelar kebesaran, sedangkan nama Puti Reno sebagai nama pertanda keturunan raja dalam garis matrilineal.
Gelaran Yang Dipertuan Gadis dilekatkan kepada perempuan yang dianggap dapat menjadi pimpinan kaumnya di dalam keluarga raja mendampingi Raja Pagaruyung. Raja Pagaruyung sendiri mempunyai gelaran Yang Dipertuan Bujang. Dengan demikian dapat dipahamkan bahwa laki-laki yang dinobatkan menjadi Raja Pagarayung dipanggil juga Yang Dipertuan Bujang, disamping gelaran-gelaran kebesarannya lainnya seperti; Sultan Abdul Jalil, Yang Dipertuan Sembahyang, Yang Dipertuan Hitam dan banyak gelaran kebesaran lainnya. sedang yang perempuan (ibu, saudara perempuan) dipanggilkan Yang Dipertuan Gadis. Perempuan yang boleh diberi gelar Yang Dipertuan Gadis adalah perempuan terdekat dalam keturunan raja, terutama dalam kaitan pertalian sistem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu, adagium adat dalam tambo tersebut disebutkan; adat rajo turun tamurun, adat puti sunduik basunduik. Pepatah ini bermakna bahwa gelar turun temurun mengikuti garis keturunan patrilineal, sedangkan sunduik basunduik dimaksudkan sebagaimana mengikuti garis keturunan matrlineal. Dengan demikian, seorang laki-laki dalam keturunan tersebut dapat menjadi raja, apabila ibunya adalah keturunan raja dan akan semakin kuat lagi kalau ayahnya juga keturunan raja. Para perempuan keturunan raja menurut garis matrilineal, di dalam Tambo Pagaruyung umumnya memakai nama kecil tersendiri yaitu, Puti Reno. Dari sekian Puti Reno itulah nanti dipilih untuk dijadikan Yang Dipertuan Gadis. Pemberian gelar Puti Reno hanya dikhususkan bagi perempuan keturunan raja Pagaruyung saja. Disepakati oleh Basa Ampek Balai. Oleh karena itu, di dalam Tambo Pagaruyung tersebut banyak ditemui nama-nama perempuan dengan pangkal nama Puti Reno. Begitu juga banyak perempuan yang digelari Yang Dipertuan Gadis. Yang Dipertuan Gadis adalah nama gelar kebesaran, sedangkan nama Puti Reno sebagai nama pertanda keturunan raja dalam garis matrilineal.
Disamping gelar Tuan Gadih yang ada di Pagaruyung, ada pula gelar
Tuan Gadih Saruaso yang pertama dipakai oleh Puti Reno Sudi yang
menikah dengan Indomo Saruaso. Beliau adalah anak dari Puti Reno
Pomaisuri Tuan Gadih ke IV. Gelar Tuan Gadih Saruaso ini diwarisi
sampai Tuan Gadih Saruaso ke VII yaitu yang terakhir menikah dengan
Daulat Yang Dipertuan Sultan Alam Muningsyah III (Daulat Yang Dipertuan
Basusu Ampek).
Kerajaan Pagaruyung : Hegemoni Melampaui Sekat-Sekat Kewilayahan
Sebagai sebuah kerajaan yang pernah ada di ranah Minangkabau, secara kewilayahan Kerajaan Pagaruyung telah melampau sekat-sekat kewilayahannya. Artinya, walaupun pusat Kerajaan Pagaruyung di Batusangkar namun raja-raja dibawah panji kekuasaan kerajaan telah menyebar ke berbagai daerah, bukan saja di Indonesia namun sampai ke mancanegara, yakni Malaysia dan Brunei Darussalam. Kekuasaan Kerajaan Pagaruyung tersebut telah membentuk suatu hegemoni, dibawah Raja Alam yang berpusat di Pagaruyung. Hal ini dibingkai dengan adanya istilah sapiah balahan, kuduang karatan, kapak radai, dan timbang pacahan.
Kerajaan Pagaruyung : Hegemoni Melampaui Sekat-Sekat Kewilayahan
Sebagai sebuah kerajaan yang pernah ada di ranah Minangkabau, secara kewilayahan Kerajaan Pagaruyung telah melampau sekat-sekat kewilayahannya. Artinya, walaupun pusat Kerajaan Pagaruyung di Batusangkar namun raja-raja dibawah panji kekuasaan kerajaan telah menyebar ke berbagai daerah, bukan saja di Indonesia namun sampai ke mancanegara, yakni Malaysia dan Brunei Darussalam. Kekuasaan Kerajaan Pagaruyung tersebut telah membentuk suatu hegemoni, dibawah Raja Alam yang berpusat di Pagaruyung. Hal ini dibingkai dengan adanya istilah sapiah balahan, kuduang karatan, kapak radai, dan timbang pacahan.
Kekuasaan Kerajaan Pagaruyung tersebut telah membentuk suatu
hegemoni, dibawah Raja Alam berpusat di Pagaruyung. Dengan adanya
raja-raja dibawah panji Kerajaan Pagaruyung telah menunjukkan hegemoni
yang melampaui sekat-sekat kewilayahan. Khusus di alam Minangkabau,
raja-raja kecil tersebut berjumlah 61 buah kerajaan, baik yang ada di
daerah darek dan rantau Minangkabau. Mereka biasanya dipangil dengan
istilah Yang Dipertuan, Rajo, dan Sutan. Mereka ada yang berasal dari
keturunan langsung raja Pagaruyung dan adapula yang ditunjuk oleh raja
sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah. Hal ini dibingkai dengan
adanya hubungan yang diistilahkan dengan sapiah balahan, kuduang
karatan, kapak radai dan timbang pacahan.
(ditulis oleh Undri, M.SI -BPSNT Padang, dan dimuat dalam Buletin Geografi Sejarah edisi II tahun 2010)
0 komentar:
Posting Komentar