http://bundokanduang.wordpress.com/2008/08/21/tradisi-balimau-2/http://bundokanduang.wordpress.com/2008/08/21/tradisi-balim
Prosesi balimau pada awal-awalnya positif dan mendapat dukungan agama. “Karena sebenarnya balimau pada awalnya tradisi itu, tidak saja dilakukan pada saat memasuki bulan puasa, akan tetapi sebagai jelang-menjelang antara dua atau lebih kerabat. Seperti lazimnya, orang yang baru nikah, menjelang orangtua/ mertua. Persyaratan yang biasanya disertakan pada acara itu, berupa limau kasai (ramuan balimau), karena dulu belum ada semacam sampo seperti sekarang. Tujuannya, agar orang yang didatangi dapat membersihkan diri, menyucikan diri. Namun tempatnya tidak di lakukan ditempat pemandian umum, tapi di tempat pemandian masing-masing.”
Inti dari tradisi balimau itu dalam rangka mengeratkan tali silaturrahmi. Kemudian, mensucikan diri sejalan dengan ajaran agama Islam. Islam itu sangat suka kebersihan. Bukankah kebersihan itu sebagian dari iman?.
“Balimau merupakan ajang silaturrahmi, di mana anak-kemenakan biasanya mengoleskan ramuan balimau ke kepala para mamaknya. Tradisi ini masih melekat pada sebagian daerah sampai sekarang di Minangkabau. Ini informasi yang disampaikan oleh Suhendri Datuk Siri Maharajo, Ninik-Mamak di Nagari Balingka, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.
“Hanya oleh sebagian masyarakat, balimau disalah artikan sebagai hura-hura, mandi bersama-sama ke tempat-tempat pemandian umum, seperti sungai dan danau, juga laut. Sehingga inti dari bersuci itu bersih secara spiritual dan agama tidak bertemu lagi,”
Kini, dalam praktiknya, karena pengaruh hukum syarak dianggap tidak perlu lagi dipertahankan, mengingat menurut kalangan agama dan adat, sekarang ini telah terjadi pendangkalan makna dan salah kaprah dalam balimau pada sebagian besar masyarakat.
Kedudukan tradisi balimau dalam adat dan budaya :
Tradisi balimau tidak termasuk dalam kategori adat, walaupun ia telah ada sejak dahulu. “Dahulu arti “balimau” merupakan lambang dari pensucian diri, yang diyakini oleh masyarakat tradional yang bersifat ritual. Sebagai khazanah budaya, tradisi ini sah-sah saja, seperti halnya penyelenggaraan tata cara dan upacara perkawinan, menjelang dilakukan akad nikah pada sepasang pengantin. Bukankah berbagai ragam upacara perkawinan itu tidak lebih sebagai budaya yang sudah mengakar pula dalam kehidupan masyarakat.
Layakkah tradisi balimau dipertahankan ?
Sebenarnya, bila terjadinya ekses negatif atau salah kaprah dari tradisi balimau, seperti yang dilakukan oleh muda-mudi berbuat maksiat ditempat-tempat pusat pemandian, pastilah harus dikikis habis. Mengingat jangan sampai adanya pergeseran budaya; karena kita meniru apa yang ada pada orang lain. Selain itu jangan pula terjadi pendangkalan agama. Akan tetapi mengingat “Tradisi balimau yang sudah membudaya dikampung-kampung dan dinagari di Ranah Minang, maka tradisi balimau tidak bisa dihapus begitu saja. Tradisi ini akan terus berjalan sepanjang zaman. Menjadi tugas keluarga, ninik-mamak, alim ulama dan cerdik pandai yang dapat mengurangi ekses negative dari tradisi balimau itu.
Ketika masyarakat tradisionil di Indonesia pada umumnya termasuk Minangkabu belum mengenal sabun mandi atau shampoo, sebagai bahan pembersih tubuh dan rambut, semula mereka menggunakan bahan-bahan alami yang tersedia, yang diyakini dapat memberikan efek bersih pada tubuh dan rambut pria dan wanita. Sebut sajalah merang, buah mengkudu atau limau kesturi, sering kita dengar bahwa bahan itu mengandung zat pembersih tubuh. Dengan perkembangan zaman, dimana bahan-bahan pembersih sudah ready for use, maka ketika menjelang ramadhan itu tradisi balimau sudah berganti rupa dengan bahan-bahan made in pabric. Mereka tidak melakukan lagi di tempat pemandian umum, namun cukup dirumah masing-masing, sambil memasang niat akan melaksanakan puasa sebulan penuh dengan hati yang bersih.
Sebagai pusaka budaya, maka tradisi balimau ini bagi sebagian masyarakat akan tetap dipertahankannya. Siapa yang akan mempertahankan ? tentulah ia kaum padusi Minang yang meliputi Mande-mande, amai-amai dan bundokanduang yang selalu hadir disetiap kegiatan budaya minang.
Dengan tidak mengabaikan ketentuan agama, yang mengikis setiap perbuatan bid’ah dikalangan masyarakat, maka hemat kami tidak perlu kawatir bahwa tradisi balimau akan berefek pedangkalan agama, melainkan hanyalah semata sebagai perwujudan pelesatrian khzanah budaya minang belaka.
Bahan alami yang digunakan pada tradisi balimau, antara lain :
- Beberapa helai daun pandan, diiris halus,
- Beberapa kuntum bunga kenanga,
- Beberapa kuntum bunga mawar,
- Segenggam bunga tanjung,
- Segenggam bunga melati,
- Beberapa jeruk kesturi,
Yakini diri Anda bahwa Anda tidak melakukan hal yang bertentangan dengan agama, melainkan semata ingin merealisasikan khazanah budaya yang ada di Ranah kita serta ibadah kepada Allah SWT.
Balimau
adalah satu kata yang mengandung satu kegiatan tradisi yang bernuansa
religious di Minangkabu pada masa dahulu hingga sekarang. Biasanya
tradisi ini dilakukan selang satu hari menjelang datangnya bulan
Ramadhan. BALIMAU dalam terminologi orang Minang adalah mandi
menyucikan diri (mandi wajib, mandi junub) dengan limau (jeruk nipis),
ditambah ramuan alami beraroma wangi dari daun pandan wangi, bunga
kenanga, dan akar tanaman gambelu, yang semuanya direndam dalam air
suam-suam kuku. Lalu, dibarutkan (dioleskan) ke kepala. “Ramuan
tradisional untuk balimau tersebut adalah warisan turun-temurun sejak
dulunya, sejak puluhan tahun lalu bahkan konon sejak ratusan tahun
lalu. Sungguhpun tradisi ini telah mulai hilang atau sengaja
dihilangkan, karena ada kalangan alim ulama diranah minang sendiri ,
menganggap tradisi “ balimau “ sebagai perbuatan bid’ah, namun bagi
kami apapun celaan terhadap tradisi ini, selayaknya “ Tradisi balimau”
tetap dipelihara dan dilestarikan.
Makna dari tradisi balimau adalah untuk kebersihan hati dan tubuh manusia dalam rangka mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa. Masyarakat tradisional minangkabau pada zaman dahulu, mengaplikasikan wujud dari kebersihan hati dan jiwa dengan cara mengguyur seluruh anggota tubuh atau keramas disertai dengan ritual yang memberikan kenyamanan dan efek bathin serta kesiapan lahir bathin ketika melaksanakan Ibadah puasa.
Makna dari tradisi balimau adalah untuk kebersihan hati dan tubuh manusia dalam rangka mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa. Masyarakat tradisional minangkabau pada zaman dahulu, mengaplikasikan wujud dari kebersihan hati dan jiwa dengan cara mengguyur seluruh anggota tubuh atau keramas disertai dengan ritual yang memberikan kenyamanan dan efek bathin serta kesiapan lahir bathin ketika melaksanakan Ibadah puasa.
Prosesi balimau pada awal-awalnya positif dan mendapat dukungan agama. “Karena sebenarnya balimau pada awalnya tradisi itu, tidak saja dilakukan pada saat memasuki bulan puasa, akan tetapi sebagai jelang-menjelang antara dua atau lebih kerabat. Seperti lazimnya, orang yang baru nikah, menjelang orangtua/ mertua. Persyaratan yang biasanya disertakan pada acara itu, berupa limau kasai (ramuan balimau), karena dulu belum ada semacam sampo seperti sekarang. Tujuannya, agar orang yang didatangi dapat membersihkan diri, menyucikan diri. Namun tempatnya tidak di lakukan ditempat pemandian umum, tapi di tempat pemandian masing-masing.”
Inti dari tradisi balimau itu dalam rangka mengeratkan tali silaturrahmi. Kemudian, mensucikan diri sejalan dengan ajaran agama Islam. Islam itu sangat suka kebersihan. Bukankah kebersihan itu sebagian dari iman?.
“Balimau merupakan ajang silaturrahmi, di mana anak-kemenakan biasanya mengoleskan ramuan balimau ke kepala para mamaknya. Tradisi ini masih melekat pada sebagian daerah sampai sekarang di Minangkabau. Ini informasi yang disampaikan oleh Suhendri Datuk Siri Maharajo, Ninik-Mamak di Nagari Balingka, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.
“Hanya oleh sebagian masyarakat, balimau disalah artikan sebagai hura-hura, mandi bersama-sama ke tempat-tempat pemandian umum, seperti sungai dan danau, juga laut. Sehingga inti dari bersuci itu bersih secara spiritual dan agama tidak bertemu lagi,”
Kini, dalam praktiknya, karena pengaruh hukum syarak dianggap tidak perlu lagi dipertahankan, mengingat menurut kalangan agama dan adat, sekarang ini telah terjadi pendangkalan makna dan salah kaprah dalam balimau pada sebagian besar masyarakat.
Kedudukan tradisi balimau dalam adat dan budaya :
Tradisi balimau tidak termasuk dalam kategori adat, walaupun ia telah ada sejak dahulu. “Dahulu arti “balimau” merupakan lambang dari pensucian diri, yang diyakini oleh masyarakat tradional yang bersifat ritual. Sebagai khazanah budaya, tradisi ini sah-sah saja, seperti halnya penyelenggaraan tata cara dan upacara perkawinan, menjelang dilakukan akad nikah pada sepasang pengantin. Bukankah berbagai ragam upacara perkawinan itu tidak lebih sebagai budaya yang sudah mengakar pula dalam kehidupan masyarakat.
Layakkah tradisi balimau dipertahankan ?
Sebenarnya, bila terjadinya ekses negatif atau salah kaprah dari tradisi balimau, seperti yang dilakukan oleh muda-mudi berbuat maksiat ditempat-tempat pusat pemandian, pastilah harus dikikis habis. Mengingat jangan sampai adanya pergeseran budaya; karena kita meniru apa yang ada pada orang lain. Selain itu jangan pula terjadi pendangkalan agama. Akan tetapi mengingat “Tradisi balimau yang sudah membudaya dikampung-kampung dan dinagari di Ranah Minang, maka tradisi balimau tidak bisa dihapus begitu saja. Tradisi ini akan terus berjalan sepanjang zaman. Menjadi tugas keluarga, ninik-mamak, alim ulama dan cerdik pandai yang dapat mengurangi ekses negative dari tradisi balimau itu.
Ketika masyarakat tradisionil di Indonesia pada umumnya termasuk Minangkabu belum mengenal sabun mandi atau shampoo, sebagai bahan pembersih tubuh dan rambut, semula mereka menggunakan bahan-bahan alami yang tersedia, yang diyakini dapat memberikan efek bersih pada tubuh dan rambut pria dan wanita. Sebut sajalah merang, buah mengkudu atau limau kesturi, sering kita dengar bahwa bahan itu mengandung zat pembersih tubuh. Dengan perkembangan zaman, dimana bahan-bahan pembersih sudah ready for use, maka ketika menjelang ramadhan itu tradisi balimau sudah berganti rupa dengan bahan-bahan made in pabric. Mereka tidak melakukan lagi di tempat pemandian umum, namun cukup dirumah masing-masing, sambil memasang niat akan melaksanakan puasa sebulan penuh dengan hati yang bersih.
Sebagai pusaka budaya, maka tradisi balimau ini bagi sebagian masyarakat akan tetap dipertahankannya. Siapa yang akan mempertahankan ? tentulah ia kaum padusi Minang yang meliputi Mande-mande, amai-amai dan bundokanduang yang selalu hadir disetiap kegiatan budaya minang.
Dengan tidak mengabaikan ketentuan agama, yang mengikis setiap perbuatan bid’ah dikalangan masyarakat, maka hemat kami tidak perlu kawatir bahwa tradisi balimau akan berefek pedangkalan agama, melainkan hanyalah semata sebagai perwujudan pelesatrian khzanah budaya minang belaka.
Bahan alami yang digunakan pada tradisi balimau, antara lain :
- Beberapa helai daun pandan, diiris halus,
- Beberapa kuntum bunga kenanga,
- Beberapa kuntum bunga mawar,
- Segenggam bunga tanjung,
- Segenggam bunga melati,
- Beberapa jeruk kesturi,
Campurkan semua bahan bahan ini, kemudian tuangkan dalam air panas suam-suam kuku.
Bersihkan badan terlebih dahulu untuk mengikis kotoran yang menempel pada tubuh, sucikan hati dengan niat lahir bathin akan menunaikan Ibadah puasa sepenuh hati karena Allah SWT. Setelah itu guyurlah tubuh dengan ramuan diatas.
Bersihkan badan terlebih dahulu untuk mengikis kotoran yang menempel pada tubuh, sucikan hati dengan niat lahir bathin akan menunaikan Ibadah puasa sepenuh hati karena Allah SWT. Setelah itu guyurlah tubuh dengan ramuan diatas.
Yakini diri Anda bahwa Anda tidak melakukan hal yang bertentangan dengan agama, melainkan semata ingin merealisasikan khazanah budaya yang ada di Ranah kita serta ibadah kepada Allah SWT.
0 komentar:
Posting Komentar